“Populorum Progressio” 23: “Bila ada orang memiliki kekayaan dunia ini, dan melihat saudaranya menderita kekurangan serta menutup hatinya bagi dia, bagaimana cintakasih Allah mau tinggal padanya?’ (1Yoh 3:17)

Senin, 30 April 2012

Cerita Mereka....



Terlalu banyak kisah dan cerita yang aku dapat dan baca saat aku browsing di internet maupun di media massa tentang perdagangan manusia ini.... Mungkin tidak akan pernah cukup media jika aku menuliskannya di laptop atau di buku tentang mereka....Mungkin juga tidak akan pernah berhenti keingintahukan tentang apa dan bagaimana mereka....

Yang aku bisa saat ini hanya mencoba memahami penderitaan mereka...

Berikut adalah sebagian kisah dan cerita mereka.....
Ilustrasi Internet

12 Tahun Jadi TKI, Ibuku Lumpuh Seumur Hidup

Aku sangat terpukul melihat kondisi ibu yang lumpuh saat pulang dari menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi bertahun-tahun. Tak hanya lumpuh, ibu tak lagi bisa berkomunikasi dengan siapa pun. Kondisi ini membuat aku semakin merasa berdosa, karena dulu acap melawan ibu.
Anda pasti pernah mendengar pemulangan ribuan TKI dari Arab Saudi beberapa waktu lalu oleh pemerintah Indonesia. Salah satu satu dari TKI itu adalah ibuku. Dia memutuskan pergi ke Arab Saudi 12 tahun yang lalu ketika aku masih duduk di bangku SMP. Ibu terpaksa menjadi TKI setelah bercerai dengan ayah. Ayah tak mau lagi mengurusiku dan memberikan nafkah. Karena -itulah ibu memilih menjadi TKI agar aku bisa melanjutkan sekolah.

Namun begitu, aku sangat marah kepada kedua orang tuaku. Aku menganggap ayah sebagai laki-laki yang tak bertanggung jawab. Begitu juga kepada ibu. Walau ia mencari uang untukku, aku menganggap ibu kejam. Aku ditinggalkan begitu saja di kampung halaman. Aku merasa tak diperhatikan oleh kedua orang tua.
Berkali-kali ibu menjelaskan maksud dan tujuannya menjadi TKI kepadaku, tapi aku tetap tak mau peduli. Aku marah dan menangis ketika ditinggal pergi ibu. Sebelum pergi ibu menitipkan aku di rumah nenek di Surabaya, Jawa Timur. Siapa sangka ternyata hari itu pula menjadi hari terakhirku melihat ibu dalam kondisi sehat.

AKU SERING MELAWAN
Seperti yang aku ceritakan di atas, ayah dan ibuku bercerai ketika aku duduk di bangku SMP. Ketika itu aku merasa dunia telah berakhir. Aku malu kepada teman-teman di sekolah karena orang tuaku berpisah. Ayah dikenal galak dan ringan tangan. Ibuku kerap menjadi bulan-bulanan ayah. Setiap hari pasti ada saja tamparan dan pukulan yang mendarat di pipi ibu. Ibu menangis dan sudah tak tahan dengan kondisi ini. Suatu hari, ketika malam tiba, ibu mengajakku berbicara empat mata. Sambil menangis ibu minta izin untuk bercerai.
Ibu memang selalu bercerita apa pun kepadaku karena aku adalah anak satu-satunya. Saat itu aku menolak dan tak mau kalau sampai ayah dan ibu bercerai. Aku sempat marah pada ibu. “Nanti aku tak punya ayah,” ucapku saat itu. Melihat aku tak menerima perceraian itu, ibu pun berjanji tak akan berpisah dengan ayah. Namun, janji tinggalah janji. Diam – diam ibu menggugat cerai ayah dan sudah mendaftarkannya ke pengadilan agama setempat.
Aku tahu informasi ini setelah satu minggu ayah dan ibu bercerai. Marah, kesal, dan ingin menangis rasanya. Aku mendadak benci kepada ayah dan ibu. Ayah yang dikenal sebagai pedagang sukses di daerahku tega-teganya tak meninggalkan uang sedikit pun untukku. Aku sempat berpikir, bagaimana nanti uang sekolahku. Mau bergantung kepada ibu? Tentu tak bisa. ibu hanyalah ibu rumah tangga yang tak pernah bekerja. Jadi tak mungkin ibu memiliki uang.
Di saat bersamaan aku juga kesal kepada ibu. Aku merasa telah dibohongi karena ibu berjanji tak akan bercerai dengan ayah. Nasi sudah jadi bubur dan aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Selama itu pula aku masih menaruh kesal kepada ibu. Padahal ia sudah berkali-kali meminta maaf kepadaku.
Setelah dua bulan ayah dan ibu bercerai, ibu semakin kebingungan memikirkan uang sekolahku. Ia rela menjadi buruh cuci di rumah tetangga untuk emndapatkan sedikit uang. Entah kenapa, saat itu aku sama sekali merasa kasihan kepada ibu. Aku malah menganggap biasa kalau ibu menjadi buruh cuci. Toh, dia kan orang tuaku, jadi memang sewajarnya mencari uang.
Aku juga mulai uring-uringan dan acap meminta dibelikan baju dan sepatu baru. Padahal barang-barang itu sama sekali tidak mendesak. Ibu acap menangis bila aku sudah meminta yang macam-macam. Sambil menitikkan air matanya ia berkata kalau tidak punya uang. Aku pun marah dan segera membanting pintu. Begitulah kelakuanku saat itu di hadapan ibu.

Ilustrasi Internet
JADI TKI
Berhubung kondisi keuangan semakin hari semakin menipis, ibu mulai mencari tahu cara menjadi tenaga kerja di Arab Saudi. Ia mendapatkan informasi dari seorang tetangga yang juga pernah menjadi TKI. Tetangga itu pulang dari Arab Saudi dengan uang yang cukup banyak. Dengan uang itu pula ia bisa membangun rumah membuka usaha warung. “Lumayan, kan? Lebih baik kamu jadi TKI,” kata tetanggaku kepada ibu saat itu. Ibu terlihat bingung.
Sebetulnya ia sama sekali tidak suka dengan pekerjaan tersebut. Ke luar negeri bertahun-tahun dan meninggalkan anak. Belum lagi masalah kekerasan yang acap diterima TKI, semakin membuat ibuku takut. Tapi ibu tak ada pilihan lain, ia harus mencari uang demi sekolahku. Tanpa sepengetahuanku ibu menuruti saran tetangga ini. Keesokan harinya ibu mempersiapkan semua berkas yang diperlukan untuk berangkat ke Arab Saudi.
Tak berapa lama kemudian ibu pun terbang ke Arab Saudi. Aku semakin marah kepada ibu saat. Walau berkali-kali ibu menjelaskan tujuannya menjadi TKI, aku tetap saja tak terima. Sebelum berangkat ibu menitipkan aku ke rumah nenek. “Ibu tak lama kok. Cuma 5 tahun dan setelah itu pulang ke Indonesia,” begitu katanya sebelum pergi.
Semanjak ibu tak ada aku semakin tak karuan. Aku sering keluyuran bersama teman-teman hingga malam. Nenek sempat memprotes sikapku ini. Menurut nenek tak baik seorang perempuan yang masih sekolah sering keluyuran. Tapi ia tidak berani memarahiku. Akhirnya nenek hanya bisa diam. Setiap tiga bulan sekali ibu mengirimkan uang saku kepadaku. Jumlahnya cukup besar dan bisa menutup kebutuhan untuk sekolah dan makan sehari-hari.
Setiap ibu mengirimkan uang, ibu selalu berpesan agar sisa uang itu disimpan. “Suatu hari pasti akan bermanfaat untuk sesuatu yang lebih penting,” tulis ibu melalui surat. Namun sayang, aku tak pernah menggubris ucapan ibu. Sisa uang itu acap aku gunakan untuk membeli barang-barang yang kurang penting. Sepatu, tas, baju baru selalu aku beli setiap bulan. Belum lagi untuk jajan sehari-hari.
Aku yang kesal dengan kepergian ibu memang berprinsip uang yang ibu dapatkan dari hasilnya bekerja menjadi TKI “pantas” aku hambur-hamburkan. Tak ada rasa kasihan terhadap ibu saat itu. Aku menganggap usaha dan kerja keras ibu memang untuk aku. Dari uang itu aku juga acap mentraktir teman-teman di sekolah, pergi ke luar kota, dan masih banyak kesenangan-kesenangan lainnya yang aku lakukan. Teman-teman di sekolah menjuluki aku “ratu” karena uangku banyak.

TKI ILEGAL
Tak terasa lima tahun sudah ibu menjadi TKI di Arab Saudi. Sesuai janjinya, seharusnya di tahun itu pula ibu sudah kembali ke Tanah Air. Seminggu, sebulan, dua bulan, tiga bulan kemudian ibu tak juga kunjung datang. Ingin rasanya menghubungi ibu ke Arab Saudi, tapi aku tak punya nomor teleponnya. Aku hanya bisa menunggu kabar dari tanah seberang.
Delapan bulan kemudian aku mendapat kabar mengejutkan dari seorang tetangga yang juga menjadi TKI di Arab Saudi. Katanya, ibuku tersandung masalah perizinan bekerja. “Bagaimana bisa?” tanyaku. Ibu kan seorang TKI, ia punya majikan, dan pasti ia sudah mendapatkan izin bekerja dari sang majikan. Ternyata pikirku salah. Perizinan yang dimaksud adalah kelengkapan surat-surat ibu selama bekerja di sana.
Ternyata keberangkatan ibu ke Arab Saudi illegal. Ibu mendaftar di salah satu agen yang bermasalah. Agen itu tidak menjelaskan secara detail mengenai lama ibu bekerja di sana. seperti yang kita ketahui, biasanya para TKI dikontrak sesuai dengan tahun mereka bekerja. Misalnya 2, 3, atau 4 tahun. Bila lebih dari masa kerja para TKI harus mengurus kembali izin kerja. Yang ibu tahu saat itu, ia bekerja selama 5 tahun di Arab Saudi. Ternyata izinnya bekerja hanya 2 tahun.
Info mengenai agen itu ia dapat dari salah satu temannya. Sehingga, ketika kontrak kerja dengan majikannya habis, ibu tak bisa langsung pulang ke Indonesia. Untuk menghindari razia-razia polisi setempat ibu acap bersembunyi di salah satu rumah kontrak TKI  di sana.
Setiap hari ia terus berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya. Kasihan sekali ibu saat itu. Lama-lama, tentu tabungan ibu habis selama di sana. Suatu hari, dengan bantuan teman, ibu dikenalkan dengan majikannya yang baru. Sebelum bekerja si majikannya bertanya, “Apakah surat-surat dan izin bekerja sudah dipenuhi?”, ibu mengangguk dan merahasiakan kondisi yang sebenarnya.
Si majikan tak tahu kalau sebetulnya ada masalah dengan surat-surat izin yang dimiliki oleh ibuku. Setelah 5 bulan bekerja si majikan tahu kalau ia telah dibohongi. Hal ini ia ketahui ketika ibu dipaksa menunjukkan surat-suratnya untuk bekerja.
Majikannya marah dan ibu dipukul menggunakan kayu. Tak sampai di situ, ibu pun dipecat tanpa gaji. Kejam sekali! Begitulah kehidupan ibu di Arab Saudi. Berhubung ibu tak mengerti mengenai masalah perizinan, ia membiarkan saja masalah itu berlarut-larut.
Aku mulai khawatir dengan ibu. Setiap minggu aku selalu mendatangi agen yang memberangkatkan ibu tersebut. Akan tetapi mereka seperti lepas tangan dengan kondisi ibu. Mereka mengaku tak bisa memulangkan ibu karena hilang kontak setelah beberapa tahun yang lalu.
Aku kaget dengan penjelasan orang agen ini. Mana mungkin agen yang mengurusi TKI bisa kehilangan kontak. Lalu bagaimana dengan nasib ibu? Apakah ibu ditahan selama di Arab Saudi? Pertanyaan ini beputar-putar di otakku. Aku juga selalu berdoa agar ibu diberikan kemudahan hingga bisa dipulangkan ke Indonesia.

LUMPUH SEUMUR HIDUP
Lama aku menunggu, tak terasa sudah 12 tahun ibu di Arab Saudi. Bila dihitung-hitung sudah 7 tahun aku tak pernah menerima kabar dari ibu, baik itu melalui telepon maupun surat. Menurut yang kuketahui kemudian, di sana ibu kerap diperlakukan kasar oleh majikan-majikannya. Mereka menganggap ibu adalah penjahat karen adatang ke Arab Saudi secara tidak legal.
Akibat penyiksaan-penyiksaan itu ibu menjadi trauma. Ia takut dan tak mau lagi bekerja. Untunglah ada seorang TKI yang mau menampung ibu. TKI itu pula yang memberikan makan setiap hari untuk ibuku. Nafsu makan ibu sudah berkurang, badannya semakin hari semakin kurus. Ia juga acap memanggil-manggil namaku ketika saat tidur.
Lambat laun kesehatan ibu pun terganggu. Temannya berkali-kali mengajak ibu untuk memeriksakan diri ke dokter, namun ia tidak mau. Ibu tahu, ia telah banyak merepotkan temannya. Karena itulah ibu selalu menolak bila diajak berobat. Semakin hari kondisi kesehatan ibu pun menurun. Suatu hari ibu terjatuh di kamar mandi. Temannya kebingungan dan terpaksa melarikan ibu ke rumah sakit.
Betapa kagetnya sang teman itu ketika mengetahui ibu terserang stroke. Mulut ibu menjadi mencong dan tak bisa dibuka. Yang paling menyedihkan ibu dinyatakan lumpuh seumur hidup. Teman itu pun mencari-cari alamat dan nomor telepon keluargaku di kampung. Sebulan mencari, akhirnya teman itu dapat nomor telepon nenek di Surabaya. Aku senang bercampur kaget ketika orang itu menelepon. Senang karena akhirnya ibu ditemukan juga dan kaget setelah mengetahui kondisi ibu yang sebenarnya.
Aku juga tak tahu bagaimana caranya memulangkan ibu ke Indonesia. Kami tak ada uang untuk membeli tiket. Apalagi kondisi ibu lumpuh, tentu harus menggunakan cara khusus untuk memulangkannya. Untunglah di saat seperti itu pemerintah Indonesia membantu pemulangan para TKI bermasalah menggunakan kapal laut.
Teman yang selama ini merawat ibu tak bisa mengantarkan sampai ke Indonesia. Untuk itu ia rela membayar seorang TKI yang juga ikut dalam pemulangan tersebut. TKI itulah nantinya yang akan merawat ibu selama di dalam kapal laut dari Arab Saudi hingga ke Tanjung Priok, Jakarta. Teman ibu yang baik hati itu juga menyelipkan uang saku di dalam tas ibu.
Kesialan kembali menimpa ibu. Uang dan tas ibu diambil oleh teman sekamarnya. Sehingga ketika ibu sampai di Indonesia ia tak punya uang sama sekali. Sesampainya di Jakarta aku ikut menjemput ibu bersama saudara-saudara dari Surabaya. Ketika ibu diturunkan dari kapal laut menggunakan kursi roda, air mataku langsung menetes. Ingin rasanya memeluk ibu setelah 12 tahun tak bertemu. Aku merasa berdosa karena selama ini telah melawan kepada ibu. Mulai saat itu aku berjanji akan merawat ibu sampai akhir hayatnya. Aku ingin menebus semua dosa yang telah aku perbuat.
Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar