“Populorum Progressio” 23: “Bila ada orang memiliki kekayaan dunia ini, dan melihat saudaranya menderita kekurangan serta menutup hatinya bagi dia, bagaimana cintakasih Allah mau tinggal padanya?’ (1Yoh 3:17)

Selasa, 19 Juni 2012

Kesetaraan Gender

" Tidak jarang kaum perempuan justru dipinggirkan dari kehidupan masyarakat dan bahkan direduksikan kedalam perbudakan. Kerapkali mereka tidak mendapatkan kesempatan yang sama (dengan laki-laki) untuk memperoleh pendidikan, direndahkan dan sumbangan intelektual mereka tidak dihargai (Art 3) "


Pernyataan Paus Yohanes Paulus II dalam Surat kepada Para Perempuan (29 Juni 1995)


Sebuah adagium menyatakan: ilmu pengetahuan memang netral, yang membuatnya tidak netral adalah penggunanya. Laiknya sebilah gunting, dia bisa dipakai untuk menggunting kain, menyemai tanaman, memangkas kuku di jari, atau menancap di tubuh hingga yang tertancap bersimbah darah.
Perdebatan penggunaan dua kata tersebut sering kali masih berlangsung hingga saat ini, sedangkan, bagi awam, kata wanita dan perempuan sehari harinya bermakna sama saja yaitu orang (manusia) yang  dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; (Kamus Besar Bahasa Indonesia ). Wanita adalah kata yang umum digunakan untuk menggambarkan perempuan dewasa. Perempuan yang sudah menikah juga biasa dipanggil dengan sebutan ibu.
Ada ideologi tertentu di balik pemilihan dan penggunaan kata tersebut. Antara kata “wanita” dan “perempuan”, kaum feminis biasanya lebih memilih kata “perempuan”.
Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti ‘tuan’, ‘orang yang mahir/berkuasa’, atau pun ‘kepala’, ‘hulu’, atau ‘yang paling besar’;
Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu ’sokong’, ‘memerintah’, ‘penyangga’, ‘penjaga keselamatan’, bahkan ‘wali’; kata mengampu artinya ‘menahan agar tak jatuh’ atau ‘menyokong agar tidak runtuh’;
Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya ‘sapaan hormat pada perempuan’, sebagai pasangan kata tuan ’sapaan hormat pada lelaki’, sementara “wanita” dikesankan semata sebagai pasangan atau bahkan subordinat pria atau lelaki.
Menilik pada sejarah Jawa, seorang wanita pada awalnya merupakan sebuah eufimisme dari kata perempuan,yang berarti  kata wanita “derajadnya” lebih tinggi ketimbang kata perempuan. Namun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa di balik kata “wanita”, tersimpan pula arti tersirat yang justru mengkerdilkan ruang gerak perempuan.
Dalam konteks kebangsawanan, kewanitaan identik dengan kelembutan, kehalusan, kesopanan, kepatuhan, dan lain-lain. Kesan memimpin, menuntut, ataumelawan menjadi tidak ada, karena bertentangan dengan kesan “kewanitaan” itu sendiri. Pada akhirnya, hal ini menjadi sebuah opini publik, di mana seorang wanita tidaklah pantas memimpin, memprotes ataupun melawan.
Dalam etimologi kultur Jawa pula, muncul pula persepsi bahwa “wanita” sebagai “wani ditoto”, atau yang bisa diterjemahkan secara langsung menjadi “harus tunduk” atau“harus mau diatur”. Sangat jelas terlihat bagaimana sebagian besar masyarakat jawa khusunya memang telah menganut paham “wanita di bawah pria” dengan sangat kental.
Kata perempuan juga sempat hilang maknanya pada masa pendudukan Jepang di indonesia. Dimana pada awalnya kata ‘puan’ ( perempuan ) yang sejajar dengan kata ‘tuan’ ( Laki laki ) menjadi bermakna rendah saat banyak tentara pendudukan  jepang yang mencari kepuasan seksnya dengan menyebut para perempuan yang dikehendakinya dengan panggilan ‘puan puan ‘ ( Pe’lempuan, karena kesulitan melafalkan huruf ‘r’ ditengah kata perempuan).

WANITA DIIBARATKAN SEBAGAI BARANG

Sudah sejak lama ada jargon yang banyak beredar, wanita diibaratkan sebagai barang dan bukan sebagai manusia, yakni ketika ia disandingkan menjadi salah satu dari 3 barang-barang untuk pemuasaan kesenangan individu, khususnya laki-laki – biasanya dalam kultur jawa - yakni HARTA, TAHTA, dan WANITA. Dengan disejajarkannya  dengan harta dan tahta, wanita tidak ubahnya sekedar barang yang “dipakai” untuk memuaskan laki-laki.
Pada sekitar tahun 70 an , Sutan Takdir Alisyahbana, berusaha mengangkat kembali kata perempuan ke publik. Walaupun penggunaan kata wanita hingga saat ini masih banyak digunakan, namun kata perempuan telah mengalali peningkatan makna, meski awalnya ditempatkan lebih rendah daripada kata wanita.
Dan saat ini para LSM pembela hak perempuan lebih cenderung menggunakan kata perempuan ketimbang wanita. Belakangan justru muncul istilah WTS atau Wanita Tuna Susila untuk mengistilahkan para pekerja seks komersial.
Tetapi tetap tidak dapat diingkari,  bahwa stereotyping perempuan masih dibawah laki laki masih terus bergulir di masyarakat kita di abad 21 ini. Kesan perempuan adalah makhluk lemah  sesungguhnya hanya sekedar “merawat” ideologi anti-feminisme.
Berbicara tentang perempuan memang tidak akan ada habisnya, karena menurutku dari dialah manusia di dunia ini bisa bertahan dari semua permasalahan. Dan banyak cerita dan legenda tentang perempuan yang telah membuat para laki laki bertekuk lutut dihadapannya, coba lihat Cleopatra, Kaisar Alexander yang berhasil menaklukan seperempat dunia ini bahkan tidak mampu berbuat banyak dihadapannya. Kartini, pejuang emansipasi wanita Indonesia.,Cut Nyak Dien, pahlawan wanita kemerdekaan Indonesia, Marie Curie, Ahli fisika dan kimia yang berhasil menemukan polonium. Selain itu orang pertama yang berhasil mendapatkan dua hadiah Nobel untuk dua bidang berbeda dan professor wanita pertama di University of Paris., Benazir Bhuto, Keberaniannya menentang pemerintahan militer di Pakistan dan mendirikan gerakan bawah tanahnya.Dia adalah salah satu pemimpin perempuan pertama di negara Islam yang mampu menduduki kursi Perdana Menteri hingga dua kali, Dewi Sartika,  Oprah Winfrey, Mother Theresa, , Hillary Clinton, Isabelle Martinez de Peron  dan masih banyak lagi kisah wanita hebat yang terlahir di dunia ini.
Bahkan sampai ada kata kata bijak '..dibalik lelaki hebat pasti ada perempuan hebat...'
Tapi mengapa masih banyak yang menjadi korban dari perdagangan manusia, kekerasan dalam rumah tangga, pendiskriminasian perempuan, pelecehan dan sebagai sebagainya.....

GENDER dan PEREMPUAN
“diskriminasi terhadap perempuan” berarti segala pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan,’

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Pasal 1

Belum apa-apa mungkin sudah banyak yang langsung menyela,’untuk apa sih menuntut persamaan antara pria dan wanita, toh pada dasarnya mereka beda’ atau ’sudahlah, jangan menuntut macam-macam, perempuan itu harusnya sadar akan kodratnya’. Atau ‘untuk apa berbicara tentang persamaan hak kalau kodrat perempuan itu pada akhirnya juga di dapur dan melayani suami’. Ironisnya, justru hal tersebut kadang dilontarkan oleh kaum wanita sendiri.
Memang betul laki-laki dan perempuan itu berbeda. Hanya saja perbedaan itu hanya berlaku berdasarkan fisik, itu saja.
Kodrat perempuan adalah sama dengan kodrat laki-laki yakni menjalankan hidup sebagai manusia di muka bumi selaku makhluk Tuhan yang paling cerdas. Karena sama-sama sebagai manusia maka kebutuhan laki-laki dan perempuan pada dasarnya sama. Laki-laki dan perempuan mempunyai kebutuhan dasar yang sama, seperti kebutuhan akan hidup yang layak, kebutuhan akan bersosialisi, kebutuhan akan pasangan hidup, kebutuhan memperoleh pendidikan. Namun sayangnya di banyak tempat antara laki-laki dan perempuan tidak punya akses yang sama dalam pemenuhan atas kebutuhan tersebut.
Coba lihat di beberapa majalah wanita, isinya memang tak terasa aroma “feminis” yang kuat. Bahkan dalam sederetan artikel atau tips yang dimuat pun pesan moralnya cenderung menggariskan bahwa perempuan adalah pasangan lelaki. Misalnya, sekalipun perempuan sudah mencapai posisi top management di  sebuah perusahaan, tetaplah yang bersangkutan harus kembali sebagai pelayan suami jika sudah sampai rumah dan rumah tangga. Karena itu, terciptalah artikel model resep membuat suami betah di rumah, atau bagaimana agar suami tak lupa pada istri, dan seterusnya. Dan majalah majalah tadi memang tak pernah mengiklankan diri sebagai majalah perempuan, melainkan majalah wanita. Sebuah tabloid bahkan menyandang slogan: “siapa bilang wanita tak butuh berita…”. Bukan: “siapa bilang perempuan tak butuh berita…”.
Selain itu banyak artikel di media dengan istilah wanita tunasusila, sekalipun bukan perempuan tuna susila, Ini pun terhitung bias dan diskriminatif, karena yang dianggap tunasusila sebatas wanita atau perempuan, sementara jarang sekali yang menggunakan  istilah lelaki tunasusila, seakan laki laki tak layak disangkutkan dengan ketunasusilaan; padahal dari beberapa data yang ada jumlah penghuni kompleks prostitusi (perempuan) tak sebanding dengan jumlah tamu atau pelanggan (laki laki) yang datang bertandang, yang jumlahnya lebih dari dua kali lipat.
Atau juga dalam penanganan kasus perkosaan, sering kali yang diangkat ke berita dan menjadi bahan pembicaraan adalah si korban yang notabene adalah perempuan.
Cara pikir yang sejajar pula yang kemudian melahirkan berderet peraturan daerah yang melarang perempuan berada di ruang publik pada malam hari. Alasan pembuat perundangan: menghindari pemerkosaan-atau kalaulah tetap keluar rumah, berarti perempuan itu ya PSK; dan itulah yang terjadi dalam pentas drama berkait peraturan daerah di Tangerang, Banten, yang mengakibatkan salah tangkap terhadap seorang perempuan pekerja biasa yang bukan pekerja seks komersial serta bukan pula pekerja seks sosial.

KONSEP GENDER
Istilah gender berasal dari kata Gen yang artinya pembawa sifat embrio laki-laki maupun perempuan.
Pembedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali tentang   pembagian peran yang selama ini telah melekat  pada perempuan dan laki-laki.
Mengapa kita perlu memisahkan perbedaan jenis kelamin biologis dan gender, karena konsep jenis kelamin biologis yang bersifat permanen dan statis itu tidak dapat digunakan  sebagai alat analisis yang  berguna untuk memahami realitas kehidupan dan dinamika perubahan relasi  laki-laki dan perempuan
Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya.
Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat di mana manusia beraktifitas.
Secara sederhana perbedaan gender telah melahirkan perbedaan peran, sifat dan fungsi yang terpola sebagai berikut
  1.     Kontruksi biologis dari ciri primer, sekunder, maskulin, feminin
  2.     Kontruksi social dari peran citra baku (Strereotype)
  3.     Kontruksi agama dari keyakinan, kitab suci agama.
  4.     Sikap perempuan feminin atau laki-laki maskulin bukanlah sesuatu yang mutlak.
Gender adalah perbedaan sifat dan peran pada laki laki dan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat. Perbedaan itu diterima dan diyakini benar adanya oleh masyarakat. Kemudian keyakinan dan dikebenaran itu diproduksi secara massif dalam keluarga, komunitas, masyarakat dan negara sehingga menjadi langgeng
Gender dibentuk oleh masyarakat, bukanlah kodrat, melainkan tatanan yang dapat diubah dan dipertukarkan.
Maka, sifat dan peran dalam laki laki dan perempuan dapat diubah dan dipertukarkan.
Perempuan dan laki laki dapat melakukan segala hal sesuai dengan keinginan mereka. Karena segala sesuatu merupakan buatan manusia, sehingga bisa dilakukan laki laki maupun perempuan.
Sering gender dipahami sebagai jenis kelamin. Padahal gender berbeda dengan jenis kelamin.
Seks / Jenis Kelamin adalah perbedaan  ciri-ciri  yang melekat  dalam diri manusia laki-laki dan perempuan yang diciptakan oleh Tuhan, sifatnya tetap, permanen maka disebut kodrat, tidak dapat berubah oleh karena waktu, tempat, budaya, agama atau kondisi sosial serta ekonomi sekalipun.

Contoh :
Seks (1)
Laki Laki – Primer     : Penis, Buah Zakar, Prostat, Sperma
Perempuan – Primer  : Vagina, Indung telur, Sel Telur, Uterus,Kelenjar Susu

Seks (2 )
Laki Laki – Sekunder       : Jakun, Mimpi basah,Jambang
Perempuan  – Sekunder   : Haid,Hamil,Melahirkan,Menyusui

GENDER  PERAN
LAKI LAKI :
  1.     Kepala RT
  2.     Pencari nafkah Utama
  3.     Pelindung Keluarga
  4.     Wilayah Publik
  5.     Aktif dalam Masyarakat
  6.     Dibayar

PEREMPUAN
  1.     Pengelola RT
  2.     Pencari Nafkah Tambahan
  3.     Pendidik Anak
  4.     Wilayah Domestik
  5.     Tinggal di Rumah
  6.     Tidak Dibayar
SEKS - GENDER
SEKS :
  1.     Tanda biologis / Jenis Kelamin
  2.     Dipunyai sejak lahir
  3.     Anugerah Allah ; kodrati; alamiah
  4.     Universal
  5.     Tidak Berubah
  6.     Tidak dapat dipertukarkan
GENDER  :
  1.     Konstruksi sosial,
  2.     diajarkan dan dapat dipelajari,
  3.     buatan manusia,
  4.     beragam / berbeda (menurut budaya),
  5.     dapat berubah/ diubah,
  6.     dapat dipertukarkan
Beberapa Contoh pembedaan gender oleh masyarakat sehari hari :
  • Arif sedang menyapu halaman rumahnya, sedangkan adiknya bermain layang layang bersama teman- temannya.
  • Ibu Ani memang layak menjabat sebagai direktur produksi karena kemampuannya, namun beberapa orang direksi meragukannya karena dia seorang perempuan.
  • Rita dan Dewi saling berebut untuk mendapatkan upahnya di pasar setelah seharian memanggul beras sebagai kuli panggul.
Apakah Arif tidak boleh menyapu karena dia laki laki, atau adiknya tidak boleh bermain layang layang karena perempuan ? ataukah ibu Ani tidak bisa menjadi seorang direktur karena dia ‘hanya’ seorang perempuan ?
Pembedaan sifat dan peran antara laki laki dan perempuan oleh masyarakat mengakibatkan perempuan selalu diposisikan untuk bekerja didalam wilayah rumah tangga atau dalam rumah, seperti memasak, mengasuh anak, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Sedangkan laki laki, lebih banyak bekerja di luar rumah dan terbebas dari pekerjaan di dalam rumah.
Pembakuan sifat dan peran tersebut oleh masyarakat kemudian membuat ruang gerak perempuan menjadi terbatas.
Perempuan menjadi sulit mengikuti kegiatan lain di luar rumah karena beban kerja di dalam rumah. Sedangkan laki laki, mereka bisa menikmati kesempatan itu. Mereka bisa mengikuti segala kegiatan yang diinginkan. Hal ini menjadikan laki laki berkuasa atas perempuan.
Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung  berupa dampak perlakuan maupun sikap, dan yang tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidak-adilan yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun dalam berbagai struktur yang ada dimasyarakat.
Ketidak-adilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja, tetapi juga dialami oleh laki-laki.
Meskipun secara agregat ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan ini lebih banyak dialami oleh perempuan, namun ketidak-adilan gender itu berdampak pula terhadap laki-laki.
Secara sadar dan tidak sadar, gender sangat mempengaruhi kehidupan kita sehari hari baik dalam keluarga, komunitas, masyarakat, maupun negara. Oleh sebab itu, sangat penting untuk memahami pengertian pengertian dasar seputar gender ;

KESADARAN GENDER
Kesadaran gender adalah kesadaran mengenai persamaan  peran,fungsi, dan hak antara laki laki dan perempuan dalam tatanan keluarga, komunitas, masyarakat dan negara. Kesadaran ini harus ditanamkan sejak kecil agar menghambat ketimpangan gender dalam tatanan tersebut. Menumbuhkan kesadaran ini menjadi cara efektif untuk menghapuskan ketidaksetaraan antara laki laki dan perempuan.
KESETARAAN GENDER (GENDER EQUALITY )
Kesetaraan gender artinya kesamaan peluang, kesempatan dan hak antara laki laki dan perempuan dalam berbagai bidang, seperti ekonomi politik sosial dan di ruang publik atau privat.
BIAS GENDER
Bias gender adalah pandangan dan sikap yang mengutamakan salah satu jenis kelamin. Bias gender lebih sering merugikan perempuan daripada laki laki karena pemahaman yang dianut adalah perempuan lebih lemah dibandingkan laki laki sehingga dianggap tidak mampu melakukan segala hal yang dapat dilakukan oleh laki laki.
KETIDAKADILAN GENDER
Ketidakadilan gender berarti tidak ada keseimbangan peran, hak, dan kedudukan antara laki laki dan perempuan di dalam rumah tangga, komunitas, masyarakat dan negara. Ketidak adilan ini berakar pada dominannya kekuasaan laki laki, sehingga menutup ruang partisipasi perempuan dalam kehidupan publik. Perempuan direndahkan posisinya hanya untuk mengurus rumah tangga. Partisipasi yang rendah mengakibatkan penilaian terhadap peran laki laki lebih tinggi dibanding perempuan.
AKAR PERMASALAHAN dan PENYEBAB KETIDAK ADILAN GENDER
Salah satu penyebab ketidakadilan gender adalah cara pandang, cara berpikir dan cara bertindak yang dibangun atau dikonstruksi oleh masyarakat, untuk memposisikan laki laki sebagai pihak yang selalu lebih utama daripada perempuan. Dampak yang dirasakan perempuan adalah ketidakadilan dalam berbagai bidang. Dimana hal tersebut berakar pada :
  • Budaya Patriakhi
  • Kemiskinan
  • Kebijakan pendidikkan yang tidak adil gender
  • Budaya masyarakat yang diskriminatif
Fenomena pembedaan laki-laki dan perempuan menjadi masalah ketika menghasilkan ketidak setaraan, ketidak adilan, dimana mereka yang berjenis kelamin tertentu (umumnya laki-laki) memperoleh dan menikmati kedudukan yang lebih baik daripada perempaun.

PROSES TERJADINYA KETIDAKADILAN GENDER
Proses ketidakadilan gender dimulai sejak kecil hingga dewasa. Proses ini terjadi di keluarga, komunitas, masyarakat dan negara melalui media massa di dalam iklan iklannya bahkan melalui kebijakan kebijakan negara.
Dalam keluarga, seperti telah disinggung diatas, anak perempuan sejak kecil selalu dibedakan dengan anak laki laki, baik dalam pola permainan, pemilihan warna, kegiatan di rumah sampai cara bertingkah laku. Ketidakadilan ini berlanjut ketika perempuan berada di lingkungan sekolah. Perlakuan sekolah kepada murid laki laki dan murid perempuan pasti berbeda, seperti dalam pembagian peran dan posisi dalam kegiatan dan organisasi sekolah.
Dalam masyarakat, perempuan juga mengalami ketidakadilan. Perempuan selalu dibatasi oleh aturan masyarakat, tentang boleh tidaknya perempuan melakukan sesuatu. Akibatnya, ruang gerak perempuan menjadi terbatas Selain itu , ketidakadilan terhadap perempuan terjadi dalam iklan iklan yang ada dalam media massa. Melalui iklan iklan , sosok perempuan sering digambarkan dengan ideal. Dan karena terus menerus diiklankan, maka akhirnya masyarakat menilai sosok perempuan adalah seperti yang diiklankan di media. Ketidakadilan ini juga terjadi dalam kebijakan kebijakan negara. Undang undang sampai Peraturan Daerah, selalu menempatkan perempuan sebagai penyebab persoalan atau yang dikorbankan.

BENTUK-BENTUK  KETIDAKSETARAAN GENDER
Beberapa contoh ketidaksetaraan yang merugikan perempuan
  1.  Akses perempuan terhadap pendidikkan sangat kecil
  2.  Kesempatan bekerja antara laki-laki dan perempuan tidak seimbang
  3.  Penerimaan hasil kerja lebih besar pada laki-laki dengan asumsi laki-laki sebagai kepala keluarga
  4.  Masih minimnya peran perempuan dalam wilayah politik
  5.  Laki-laki beristeri harus mempunyai pekerjaan tetap
  6.  Perempuan dibebani untuk mengasuh anak
  7.  Perempuan harus mengabdi pada suami
  8.  Tinggi badan laki-laki dan perempuan dibedakan (menjadi syarat) dalam dunia kerja
  9.  Tidak ada pilihan untuk perempuan
  10.  Merasa bersalah bila berbeda dari aturan
  11.  Konstruksi tentang sosok ideal
  12.  Image negatif perempuan pulang malam/pelabelan
PERBEDAAN GENDER MELAHIRKAN KETIDAK ADILAN GENDER YANG MELIPUTI:
a.   Marginalisasi atau proses pemiskinan
Suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sector public), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender.
Contoh :
  1. Guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima.
  2. Masih banyaknya pekerja perempuan dipabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender, seperti  sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan factor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
  3. Perubahan dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan.
  4. Perempuan /isteri hanya disebut sebagai konco wingking
  5. Dalam kepanitian berbagai kegiatan perempuan cukup diberi peran untuk mengurus konsumsi
  6. Pendidikkan bagi perempuan nomor dua sesudah laki-laki
  7. Perempuan dianggap manusia kelas dua
  8. Dalam rumah tangga yang diperkuat adat istiadat maupun tafsir agama, perempuan  tidak mendapat hak waris sama sekali, atau hanya setengah, bahkan menurut kerelaan Laki-laki.
b.   Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik.
Suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.
Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan public atau produksi.
Contoh :
  1. Masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil keputusan atau penentu kebijakan disbanding laki-laki.
  2. Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak.
  3. Masih sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik (anggota legislative dan eksekutif ).
  4. Anggapan bahwa perempuan itu irasionil atau emosionil sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin.
  5. Di Jawa dulu dikatakan perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan ke dapur juga
  6. Bahkan pemerintah pernah memiliki peraturan jika suami akan pergi belajar jauh dari keluarga dia bisa mengambil keputusan sendiri, sedangkan untuk isteri harus seizin suami
  7. Dalam keluarga jika keuangan sangat terbatas dan harus mengambil keputusan untuk studi, maka anak laki-laki akan mendapat prioritas.
c.    Pembentukan Sterotipe atau melalui pelabelan negatif
Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotype gender laki-laki dan perempuan.
Stereotype itu sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat.
Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya.
Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang  yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain.
Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negative ditimpakan kepada perempuan.

Contoh :
  1. Perempuan dianggap cengeng, suka digoda.
  2. Perempuan tidak rasional, emosional.
  3. Perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting. ( Sering muncul “Perempuan bisa apa?” )
  4. Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan.
  5. Laki-laki sebagai pencari nafkah utama
  6. Perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, sehingga setiap ada kasus pelecehan dan perkosaan, massa cenderung menyalahkan korbannya.
  7. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami, sehingga pendidikan kaum perempuan dinomor duakan.
  8. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe tersebut.
 d.   Kekerasan
Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya.
Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan.
Contoh :
  • Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga.
  • Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan.
  • Pelecehan seksual.
  • Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi
Pada dasarnya kekerasan gender disebabkan oleh ketidak setaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat, misal
  • Pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan. Ketidak relaan namun tetap dilakukan karena takut, malu. Keterpaksaan baik ekonomi, sosial maupun kultural, tidak ada pilihan lain.
  • Pemukulan dan seranga fisik yang terjadi dalam rumah tangga, termasuk penyiksaan terhadap anak-anak.
  • Penyunatan terhadap anak perempuan. Alasan  sebenarnya untuk mengontrol kaum perempuan.
  • Pelacuran, yang dikarenakan suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Disatu pihak pemerintah melarang serta menangkapi mereka, namun dilain pihak negara menarik pajak dari mereka. Pelacur dianggap rendah, namun pusat kegiatan mereka ramai dikunjungi orang.
  • Pornografi ( pelecehan terhadap kaum perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan obyek demi keuntungan seseorang.
  • Sterilisasi dalam KB yang sangat merugikan dan membahayakan perempuan baik fisik maupun jiwanya.
  • Molestation, memegang atau menyentuh  bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan pelbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh
Pelecehan seksual. Bentuk-bentuk yang bisa dikategorikan pelecehan seksual antara lain: ( menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara yang dirasakan sangat ofensif, Menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omong kotor, Menginterogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya, Meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau untuk mendapatkan promosi atau janji-janji lainnya., Menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau seizin dari yang bersangkutan

 e.   Beban Ganda.
Adanya anggapan bahwa perempuan  memiliki sifat memelihara dan rajin serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggungjawab kaum perempuan. Meskipun perempuan bekerja diluar rumah namun tetap saja laki-laki tidak diwajibkan menekuni pekerjaan domestik. Sedangkan bagi kaum kaya semua pekerjaan domestik diserahkan kepada pembantu ( mereka menjadi korban sebab bekerja lebih lama dan berat).
Manifestasi ketidak adilan Gender tidak bisa dipisah-pisahkan, karena saling berkaitan dan berhubungan, saling mempengaruhi secara dialektis. Tidak ada satu pun manifestasi ketidak adilan gender yang lebih penting, lebih esensial dari yang lain. Misalnya, marginalisasi ekonomi kaum perempuan justru terjadi karena stereotipe tertentu atas kaum perempuan dan itu menyumbang kepada subordinasi, kekerasan kepada kaum perempuan, yang akhirnya tersosialisasikan dalam keyakinan, ideologi dan visi kaum perempuan itu sendiri. Dengan demikian kita harus bisa menyatakan bahwa marginalisasi  kaum perempuan adalah menentukan dan terpenting dari yang lain dan oleh karena itu perlu mendapat perhatian lebih. Atau sebaliknya, bahwa kekerasan fisik adalah masalah paling mendasar yang harus dipecahkan terlebih dahulu.
                                 
PELANGGENGAN KETIDAKADILAN GENDER
Ketidakadilan gender yang dialami perempuan terjadi terus menerus dan mengakar kuat di masyarakat. Ketidakadilan ini menjadi langgeng karena didukung oleh intitusi institusi di dalam masyarakat.
Keluaraga sebagai institusi masyarakat tempat seorang anak belajar nilai nilai yang sangat kuat tentang pembedaan perempuan dan laki laki. Nilai nilai ini diperkuat dengan aturan aturan tentang boleh dan tidaknya perempuan bertingkah laku.
‘…. Nanti kalau kamu sudah berumah tangga kamu harus menuruti apapun kata suami. Ingat, laki laki adalah pemimpin keluarga. Dulu, ini selalu nenek tanamkan kepada ibumu…’
‘….kalau sudah jadi isteri, tempat perempuan itu di belakang suami. Dulu nenek juga begitu. Ibumu juga. Kalau punya anak perempuan ajari masak dan mengurus rumah. Kalau anakmu laki laki biarkan dia melakukan apapun sesukanya….’

Selain itu ketidakadilan ini didukung oleh sistem pendidikan yang menempatkan perempuan berbeda dengan laki laki dalam peran dan posisinya. Iklan iklan di media massa turut menyuburkan nilai nilai ketidakadilan gender terhadap perempuan. Sosok ideal perempuan dicitrakan oleh media dan disebarluaskan terus menerus sehingga masyarakat menjadi terbiasa dengannya.
Cakupan yang lebih luas dari ketidakadilan tersebutpun dilakukan oleh negara melalui produk produk Undang Undang dan kebijakan lainnya. Perempuan dijadikan objek yang selalu akan menimbulkan masalah bila tidak diatur.

‘….. Undang undang perkawinan juga menyatakan kalau laki laki adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Jadi, tugas isteri ya melayani suami….’

STRATEGI UNTUK PERUBAHAN
KELUARGA
Perubahan nilai nilai yang tidak adil gender dapat dimulai di rumah melalui pendidikan yang tidak membedakan laki laki dan perempuan dalam keluarga.
Pendidikan dalam keluarga merupakan pintu masuk mengubah ketidakadilan gender. Anak pertama kali mendapatkan pendidikan di keluarga. Pendidikan dari kecil yang diterima anak akan melekat dalam pola pikir dan dikembangkan dalam hidupnya ketika dewasa.

‘…Lihat bu, ini bagus untuk anak kita ! Sepertinya cocok sekali..’
‘….Anak kita kan perempuan, harus yang warna pink, masak warna biru! Aku mau semuanya warna pink, Pak !….’
‘….Ibu bagaimana sih, apa ada yang salah dengan warna biru jika perempuan memakainya…?’

Pekerjaan rumah tangga pada sebagian besar masyarakat selama ini hanya diajarkan kepada perempuan. Hal ini akan membuat anak laki laki tidak bisa melakukan pekerjaan pekerjaan rumah tangga ketika dewasa. Mengajarkan pekerjaan rumah tangga kepada anak laki laki dapat dimulai dari tinggkat keluarga sehingga diharapkan ketika dewasa dapat berbagi tugas dan peran dalam rumah tangga. Hal tersebut adalah strategi yang bisa digunakan untuk menghapuskan beban ganda yang selama ini masih ditanggung perempuan.

‘…Kak, kamu bantu ibu mencuci ya ? Bapak dan adik bersih bersih rumah !..’
‘…Mencuci itu kan pekerjaan perempuan Pak…?’
‘…Kakak bisa mencuci kan..? Tidak ada pekerjaan laki laki atau perempuan, semua pekerjaan bisa dilakukan baik oleh laki laki atau perempuan…’
Membiasakan makan bersama di keluaraga. Hal ini adalah salah satu strategi yang bisa dilakukan untuk melakukan perubahan di tingkat keluarga yaitu memperlihatkan posisi setara anatra laki laki dan perempuan.


SEKOLAH
Memberikan pelatihan tentang kepekaan gender kepada tenaga tenaga pendidik mulai dari tingkat PAUD,TK,SD,SMP,SMA sampai perguruan tinggi dapat dilakukan agar di sekolah atau lembaga pendidikan formal, guru atau pendidik tidak memperlakukan berbeda antara murid laki laki dan perempuan.

MASYARAKAT
Dalam lingkup masyarakat, upaya penyadaran dapat dilakukan melalui penyebarluasan pendidikan yang tidak membedakan laki laki dan perempuan. Masyarakat perlu mendapatkan informasi bahwa sesungguhnya perbedaan antara perempuan dan laki laki hanyalah aspek biologisnya. Banyak forum di masyarakat yang bisa digunakan untuk menyelipkan pendidikan adil gender misalnya forum keagamaan, forum pertemuan masyarakat, arisan, rapat warga dan lainnya yang melibatkan laki laki dan perempuan.

NEGARA
Salah satu kunci penting untuk meningkatkan kesetaraan gender adalah pembuatan kebijakan publik yang sensitif gender. Kenyataan justru sebaliknya, misalnya adanya kebijakan yang melarang perempuan untuk berada di luar rumah pada malam hari. Perempuan selalu menjadi korban kebijakan yang diskriminatif. Hal tersebut mengakibatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan kebijakan rendah.
Indonesia telah meratifikasi CEDAW melalui Undang Undang No 7 tahun 1984. CEDAW adalah peraturan Internasional tentang penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian harusnya tidak ada lagi jebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan karena itu bertentangan dengan CEDAW.

Media massa
Media massa adalah alat yang sangat strategis dan efektif untuk mengubah ketidakadilan gender yang ada di masyarakat. Memberikan pelatihan pelatihan kepada para pelaku  dalam media tersebut merupakan salah satu cara yang bisa dilakukan untuk tidak lagi memproduksi  atau menayangkan sebuah   hasil produksi yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan.
(Kesetaraan Gender,Kalyanamitra 2010)


Di Indonesia sendiri gerakan tentang Gender itu sendiri telah tertuang dalam INSTRUKSI  PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2000 TANGGAL 19 DESEMBER 2000 Tentang PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL
Dalam Instruksi Presiden ini yang dimaksud dengan :
  1. Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembagunan nasional.
  2. Gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh  keadaan sosial dan budaya masyarakat
  3. Kesetaraan Gender adalah kesamaaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
  4. Keadilan Gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan  perempuan
Gender sebagai persoalan sosial budaya
Munculnya kesadaran gender berimplikasi pada adanya kesadaran bahwa banyak hal yang dapat dan harus diubah agar dapat hidup menjadi lebih baik, lebih adil.
Gender kemudian menjadi suatu persoalan sosial budaya dimulai dengan kesadaran bahwa dalam masyarakat ada ketidaksetaraan gender, bahwa jenis kelamin tertentu dipandang lebih berharga, lebih baik daripada jenis kelamin yang lain.
Dengan demikian gender baru dianggap sebagai persoalan budaya jika dalam suatu masyarakat telah terbangun suatu kesadaran tentang gender itu sendiri.
Hanya dengan kesadaran, maka orang dapat melihat hal-hal yang terkait dengan pembedaan  atas dasar jenis kelamin sebenarnya merupakan hal-hal  yang tidak harus selau diterima sebagai hal yang alami.  Bahwa pembedaan ini seringkali membuat salah satu golongan warga masyarakat ( bisa laki-laki, bisa perempuan) dirugikan.
Sehingga dalam menuju ke relasi yang sejajar, harmonis, setara antara laki-laki dan perempuan berarti kita harus kembali ke Fitrahnya yaitu diciptakan oleh Tuhan menurut  CITRANYA laki-laki dan perempuan, untuk saling melengkapi, membantu, menyempurnakan

Dengan saling menghargai, berbagi peran dengan adil tanpa melihat apa jenis pekerjaannya dan siapa yang harus melakukannya, prinsipnya adalah semua dapat dikerjakan oleh laki-laki dan oleh perempuan  asalkan tidak melanggar kodrat dan berdosa, Kesetaraan Gender dalam kehidupan sehari hari dapat diwujudkan…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar