“Populorum Progressio” 23: “Bila ada orang memiliki kekayaan dunia ini, dan melihat saudaranya menderita kekurangan serta menutup hatinya bagi dia, bagaimana cintakasih Allah mau tinggal padanya?’ (1Yoh 3:17)

Minggu, 17 Juni 2012

Penghentian Praktik Perdagangan Manusia_3

DEKLARASI ANTI PERDAGANGAN MANUSIA

Pada hari jumat sampai minggu, tanggal enam sampai tanggal delapan bulan delapan tahun 2010, bertempat di Wisma Don Bosco – Lewoleba, kami para biarawan-biarawati dari kongregasi religius yang berkarya di Keuskupan Larantuka bersama utusan awam dan perwakilan Pemerintah dari instansi terkait, bertemu dan membuat refleksi bersama perihal isu “Perdagangan Manusia”. Refleksi bersama ini diilhami dan didukung penuh oleh IKATAN BIARAWATI SELURUH INDONESIA (IBSI). IBSI sendiri beranggotakan para Pemimpin Umum/Provinsial dari setiap kongregasi religius/biarawati di Indonesia bahkan berjejaring ke seluruh dunia. IBSI memiliki program dan perhatian besar terhadap persoalan kemanusiaan. Bahkan IBSI sudah membentuk pula komisi khusus untuk penanggulangan perdagangan perempuan (Counter Women Trafficking Commission) sebagai wujud kepedulian terhadap persoalan kemanusiaan yakni perdagangan manusia pada umumnya dan perdagangan perempuan khususnya.


Setelah mendapat masukan dari para narasumber dan berdialog penuh emphati serta berdiskusi secara mendalam dan bersaudara, kami menyatakan dan menegaskan sikap kami untuk “ANTI TERHADAP PERDAGANGAN MANUSIA” dalam bentuk apa pun. Pernyataan sikap kami ini didasarkan pada sejumlah referensi yuridis formal berupa regulasi pemerintah, refleksi iman dan moral atas peran profetis Gereja dalam merespon realitas sosial kemasyarakatan termasuk isu perdagangan manusia. Kami menemukan bahwa sesungguhnya respon terhadap persoalan perdagangan manusia adalah sekaligus panggilan kristiani dan kemuridan setiap pengikut Yesus sang Guru dan Pemimpin, Tuhan dan Gembala yang selalu berpihak kepada yang lemah dan tertindas. Pilihan keberpihakan kepada yang miskin dan tertindas itu merupakan spiritualitas Gereja yang kami wujudkan dalam rencana aksi sebagai upaya konkret untuk pemberdayaan dan kesadaran akan kerja ber-jejaring dengan berbagai pihak. Sejumlah butir gagasan dan point simpul wacana berikut ini adalah bagian dari risalah dan intisari refleksi kami yang bermuara pada kesepakatan dan rekomendasi.

1. Manusia diciptakan oleh Allah menurut gambaranNya (imago Dei), karena itu betapa mulianya makhluk manusia itu. Manusia memiliki martabat sebagai pribadi dan itu begitu luhur, mulia dan indah, jauh lebih berharga daripada makhluk ciptaan yang lain. Hanya kita manusia saja makhluk yang mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas diri sendiri dan mengabdikan diri dalam kebebasan. Hanya manusia dapat hidup dalam kebersamaan dengan orang lain dan makhluk lain secara bersaudara (companion) yang memungkinkan dia bertumbuh dan berkembang. Maka, sesungguhnya penghormatan terhadap martabat manusia adalah hakekat penciptaan dan panggilan kristiani kita sekaligus merupakan ciri dari masyarakat yang sejahtera.

2. Kondisi ideal yang inherent dan melekat satu dalam pribadi manusia dengan hak dan kewajibannya yang harus dihormati itu malah tercoreng, ternoda dan dilecehkan oleh egoisme manusia dan pertimbangan kepentingan diri/kelompok. Oleh dosa, manusia menjadi terpecah belah dalam dirinya sendiri dan dalam kebersamaannya dengan sesama. Manusia tidak saling menghargai martabat pribadi yang indah dan mulia itu, bahkan sebaliknya terjadi dan terlibat melalui aneka kejahatan. Adapun bentuk kejahatan itu berupa eksploitasi seksual dan prostitusi, eksploitasi tenaga kerja khusus perempuan dan anak bahkan eksploitasi organ tubuh dan penyelundupan manusia. Semua kejahatan ini adalah bentuk perdagangan manusia (human trafficking atau trafficking in person) yang sesungguhnya merendahkan martabat manusia dan mengabaikan nilai-nilai luhur dalam diri manusia pada satu pihak dan pada pihak lain mencoreng wajah Allah sang Pencipta. Secara khusus perihal buruh migrant ada begitu banyak masyarakat kita yang merantau secara ilegal. Terbetik masalah demi masalah dengan aneka modus operandi mulai pada tahap rekruitmen, penampungan, pengiriman, pengangkutan sampai pada penempatan. Bahkan ketika kembali ke tempat asal pun para perantau kita masih mendapat pemerasan di perjalanan sampai di pelabuhan tujuan yang disaksikan oleh kaum keluarga dan pihak penegak hukum. Selain itu ada banyak soal lain yang menelantarkan kehidupan iman dan moral yang menciptakan disharmoni dalam keluarga. Ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan pun menjadi persoalan tersendiri apalagi di tengah adat-budaya masyarakat kita yang patriarkat yang menomorduakan perempuan, selain beban ganda, label negative dan anggapan perempuan sebagai makhluk yang lemah serta berbagai bentuk kekerasan yang memprihatinkan dan menyesakkan dada. Selain itu masalah HIV/AIDS sudah tiba pula di pekarangan kisah hidup kita dan menjadi ancaman yang menakutkan.

3. Terhadap aneka persoalan yang kami pandang semakin hari semakin memprihatinkan dan harus merupakan agenda yang ‘penting dan mendesak’ itu, ternyata belum ada tanggapan dan penanganan yang konkret dan berarti baik oleh masyarakat warga sendiri maupun oleh badan publik apalagi oleh para pemilik modal dan pasar. Sejumlah sebab yang kami refleksikan antara lain: Komunitas masyarakat pada umumnya masih menganggap perdagangan manusia sebagai bukan kejahatan serius, ada yang bahkan terlibat sebagai calo, makelar, sindikat dan mafia tenaga kerja yang melibatkan pula oknum pejabat dengan segala kepentingannya. Hambatan juga datang dari masyarakat kecil sendiri yang adalah korban malah takut dan atau malu melaporkan perlakuan jahat yang dialami. Pemerintah sebagai penanggungjawab publik belum memberi perhatian serius untuk merespon realitas bermasalah terkait buruh migrant itu. Tak ada alokasi dana daerah yang memadai yang secara khusus berpihak pada buruh migran, belum ada pula Perda yang mengakomodir kepentingan buruh migran. Pihak penegak hukum pun nampaknya tidak serius menangani aneka kejahatan perdagangan manusia, vonis yang diberikan terhadap pelaku kejahatan terlalu ringan sehingga tidak membuat jera sang pelaku. Sementara bukan rahasia bahwasanya pelaku kejahatan sendiri sering berjejaring secara teorganisir dan kita menjadi saksi yang tidak berdaya. Komunitas internal Gereja sendiri pun belum mewadahi secara memadai persoalan kemanusiaan yang memprihatinkan ini.

4. Terhadap semua persoalan itu, kami merefleksikan semangat dasar untuk bermain peran dan terlibat sebagai Gereja. Melalui Inkarnasi dan peristiwa Salib, Allah telah menunjukkan keberpihakan yang hebat dan solidaritas yang luar biasa terhadap manusia yang berdosa. Dalam diri Yesus dari Nazareth, Allah hadir dan bermurah hati, menjadi dan mengambil bagian dalam perjuangan manusia. Karena itu, keterlibatan dan keberpihakan Gereja itu bukan pertama-tama karena realitas eksternal yang bermasalah. Keterlibatan Gereja juga bukan sekadar mimpi, ilusi, halusinasi atau imajinasi belaka melainkan merupakan panggilan dan spiritualitas internal Gereja. Ajaran Sosial Gereja menegaskan bahwa sesungguhnya relasi antara ajaran Gereja dan tanggapan terhadap masalah sosial bersifat timbal balik. Prinsip-Prinsip Ajaran Sosial Gereja melandasi perjuangan kemanusiaan, antara lain menghargai martabat manusia, bersikap solider, menghargai subsidiaritas, mengutamakan kepentingan umum dan tetap memilih berpihak kepada yang miskin. Karena itu, tidak cukup sebagai Gereja, kita merayakan keselamatan dalam ritus liturgi saja sambil mengabaikan tanggungjawab sosial kemasyarakatan. Bukankah Tuhan melalui nabi Amos telah mencela kita: “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang pada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepadaKu korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah daripadaKu keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Amos 5:21-24).

5. Sesungguhnya, melalui pengalaman dan peristiwa biblis dari masa ke masa, Allah tiada henti mengajar dan mengajak kita untuk terus keluar (exodus) sebagai Gereja Peziarah dan hidup sebagai orang asing di tanah Tuhan. Kesadaran sebagai orang asing di tanah Tuhan ini membutuhkan perubahan paradigma yang mengandaikan gerakan untuk eksodus. Kita keluar dari anggapan terhadap manusia sebagai barang untuk dimanfaatkan dan diperdagangkan ke tempat sakral yang dihormati. Manusia sebagai obyek yang dieksploitasi kepada situs/tempat kediaman Allah. Manusia yang mengejar egoisme pribadi dengan segala kesenangannya kepada tujuan cintakasih persaudaraan yang diajarkan oleh Kristus sendiri. Maka, manakala kesadaran kritis kolektif dan kemurahan hati tumbuh semakin mekar dalam komunitas-komunitas hidup dan karya para murid Tuhan mulai dari dalam keluarga dan komunitas basis gerejani (KBG) kita, maka perubahan kepada kebaikan akan terjadi. Manakala sekelompok orang mengorganisir diri secara kuat untuk mewadahi kepentingan bersama dan berjuang dengan spiritualitas keberpihakan yang benar dan mengelola peluang politis untuk kebaikan bersama maka perubahan pun akan terjadi. Memang, perubahan kepada kebaikan itu tidak hanya membutuhkan komitmen manusiawi melainkan juga karya rahmat Allah.

6. Oleh karena itu, terkait isu perdagangan manusia dengan segala bentuk kejahatan dan modus operandinya, kami para rohaniwan dan biarawan/biarawati bersama utusan awam membangun kesepakatan yang menjadi komitmen kami dan mengharapkan dukungan segenap umat beriman sebagai persekutuan Umat Allah dan bagian tak terpisahkan dari Tubuh Mistik Kristus. Kami juga merumuskan dan menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada para pihak yang berkompeten karena jabatannya untuk kepentingan publik (bonum publicum) dan semua orang yang bertanggungjawab untuk kebaikan umum (bonum commune). Dan melalui penghayatan spiritualitas masing-masing kongregasi, kami memohon berkat Tuhan dan bimbingan Roh Kudus untuk menyentuh hati dan menyapa nurani setiap orang yang berkehendak baik tanpa diskriminasi ras, suku, agama, golongan dan kepentingan.

7. Butir-butir KESEPAKATAN
  1. Memberi pemahaman dan motivasi melalui pendampingan keluarga untuk bermigrasi secara legal, aman dan terlindungi.
  2. Bermitra dengan para pihak (termasuk dengan seksi PSE) untuk memberdayakan ekonomi keluarga, usaha kecil dan pendampingan bagi kelompok ekonomi produktif.
  3. Menyelenggarakan pendidikan non formal untuk menciptakan lapangan kerja.
  4. Melakukan kampanye anti perdagangan manusia dan katekese di sekolah dan asrama.
  5. Membentuk “wadah komunikasi” relawan anti perdagangan manusia.
  6. Bekerjasama dan berjejaring dengan Komisi Migran dan Perantau Keuskupan Larantuka, Pemerintah, Aparat Penegak Hukum, LSM dan pihak lain untuk menjadi bagian dari persoalan perdagangan manusia.
8. Butir-butir REKOMENDASI
1) Kepada Gereja:
  • Meminta bapak uskup Larantuka untuk menerbitkan Surat Gembala atau Nota Pastoral khusus tentang persoalan perdagangan manusia.
  • Menganjurkan kepada pihak Keuskupan untuk membedah isu perdagangan manusia sebagai salah satu tema APP.
  • Meminta Komisi Migran dan Perantau Keuskupan untuk membuat data base tentang migrasi di Keuskupan Larantuka.
  • Meminta para agen pastoral paroki (pastor sampai ketua KBG) untuk membangun pemahaman yang benar tentang bermigrasi yang legal dan ancaman perdagangan manusia.
  • Mengadakan katekese anti perdagangan manusia di sekolah-sekolah dan asrama-asrama.

2) Bagi Pemerintah:
  • Menggunakan pelayanan nurani dalam memfasilitasi calon dan mantan buruh migran dan keluarganya serta memberikan pelayanan terpadu satu atap.
  • Memberikan sosialisasi sampai ke tingkat masyarakat akar rumput tentang bermigrasi secara legal sebagaimana mandat UU No. 39 tahun 2004.
  • Menerbitkan PERDA khusus terkait persoalan buruh migran.
  • Memperjuangkan berdirinya Kantor Imigrasi di tingkat Kabupaten.
  • Mengalokasikan dana APBD untuk mengelola permasalahan buruh migran dan perdagangan manusia.
  • Meminta aparat penegak hukum untuk sungguh-sungguh menegakkan aturan dan menindak tegas para pelaku kejahatan perdagangan manusia.
3) Bagi Komunitas Warga/Masyarakat:
  • Merencanakan migrasi secara aman, legal dan terjamin perlindungan terhadap hak dan kewajiban dengan program hidup yang jelas.
  • Berhati-hati terhadap iming-iming merantau yang menggiurkan dari pihak yang tidak jelas identitas diri dan lembaganya.
  • Tidak memanfaatkan perantauan sebagai pelarian terhadap persoalan dan tanggungjawab keluarga dan tuntutan adat.
  • Meninjau sistem dan pemberlakuan keputusan adat yang memberatkan dan membebankan.
  • Berlaku adil terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam peran publik dan domestik baik dalam keluarga maupun dalam komunitas masyarakat yang lebih luas.
  • Mewaspadai ancaman dan bahaya HIV/AIDS yang kebanyakan dibawa oleh mantan buruh migran.
  • Berani melaporkan persoalan kejahatan perdagangan manusia kepada para pihak seperti Toga, Tomas, Toda, dan Penegak hukum.
Pada akhirnya, kami mengucap syukur kepada Allah yang berkenan menyediakan kesempatan bagi kami untuk menjadi lebih sadar dan semakin empati dalam merespon realitas sosial kemasyarakatan secara manusiawi. Kami juga mau berusaha membebaskan kenyamanan kami di balik tembok-tembok biara dan kungkungan egoisme kami untuk menjadi bagian dari masalah kemanusiaan sebagai panggilan kemuridan kami. Semoga Tuhan yang berbelarasa dengan kita umatNya dan berlimpah kemurahan hatiNya menguatkan kami. Semoga Ia melimpahkan rahmatNya kepada saudara-saudari umat beriman agar kita semua bangkit berjuang dalam suasana persaudaraan yang sejati dengan cinta yang sejati untuk kasih-persaudaraan yang sejati.

Lewoleba, 8 Agustus 2010

KESEPAKATAN BERSAMA
HASIL LOKAKARYA “ KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER SERTA REALITAS KEKERASAN TERHADAP KAUM PEREMPUAN”
BAGI PETUGAS PASTORAL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI KEUSKUPAN JAYAPURA
SENTANI, 4-6 NOVEMBER 2011

Mencermati banyaknya persoalan ketidakadilan gender yang dihadapi kaum perempuan di Papua, baik dibidang ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, pertahanan keamanan bahkan agama; maka berdasarkan hasil diskusi selama pertemuan, juga mempertimbangkan arahan dan masukan dari para narasumber, dengan  ini kami merekomendasikan hal – hal sebagai berikut :
1.  Realita ketidakadilan gender yang dialami perempuan di Papua :
  • Ekonomi :
Tanggung jawab lebih besar yang dibebankan kepada kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, kesenjangan ekonomi, kurangnya perhatian terhadap pemberdayaan ekonomi orang asli
  • Pendidikan
Masih sulitnya akses terhadap pendidikan di pedalaman, banyak asrama asrama mahasiswa dibangun di kota dengan biaya besar tetapi tidak dilengkapi dengan pola pembinaan yang baik
  • Kesehatan :
Perubahan yang terjadi secara cepat membawa pengaruh buruk untuk masyarakat, pergaulan bebas yang menyebabkan semakin tingginya jumlah pengidap HIV AIDS termasuk ibu dan anak, tingginya tingkat kematian ibu dan anak, dan masih rendahnya kesadaran akan pentingnya pola hidup sehat
  • Sosial budaya :
Kurangnya penghargaan terhadap harkat dan martabat kaum perempuan yang terlihat dari tingginya tingkat kekerasan dalam rumah tangga, maraknya perselingkuhan, perkawinan usia dini, perkawinan campur ( beda agama, suku, dll ) tanpa ikatan yang sah;
  • Agama :
Para pengurus gereja cenderung didominasi kaum pria, kurangnya kehadiran kaum pria dalam kegiatan – kegiatan keagamaan, yang seringkali hanya dihadiri perempuan dan anak-anak

2.  Harapan-harapan :
  1.  Tanggung jawab bersama suami istri untuk menjalankan tugas dalam keluarga lebih khusus untuk pendidikan anak, pemberdayaan di bidang ekonomi terutama perempuan
  2.  Akses pendidikan yang mudah ,adanya pendampingan yang intensif untuk para penghuni asrama –asrama yang ada di kota Jayapura
  3. Kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, bahaya pergaulan bebas, minuman keras, HIV AIDS, perkawinan usia dini, perkawinan tanpa ikatan yang sah
  4. Tidak ada tindak kekerasan dalam rumah tangga, kehidupan kekeluargaan yang harmonis untuk mencegah perselingkuhan dan tindak kekerasan dalam rumah tangga
  5. Perempuan mendapat kesempatan yang sama untuk duduk dalam kepengurusan gereja, keikutsertaan dan keaktifan secara bersama dalam menjalankan kegiatan kegiatan menggereja
3.  Solusi atas persoalan persoalan ini :
  1. Sosialisasi hasil pertemuan ke masing – masing wilayah
  2. Pembentukan tim relawan pemerhati persoalan perempuan dan anak di masing – masing wilayah Dakenat, Paroki, Kombas, WKRI, komunitas-komunitas religius, dan kelompok kategorial Gereja
  3. Pemberdayaan ekonomi melalui berbagai macam kegiatan pelatihan keterampilan dan membentuk satu bagian pemasaran melalui komisi pemberdayaan perempuan Keuskupan Jayapura
  4. Membangun jaringan kerja untuk mempermudah kerjasama antar kelompok dalam usaha memberdayakan kaum perempuan : Gereja, Adat, Pemerintah, LSM, IBSI, dan lembaga lembaga lain yang memiliki perhatian yang sama terhadap persoalan kaum perempuan
  5. Meningkatkan kegiatan penyuluhan di kelompok mengenai hidup sehat, bahaya pergaulan bebas, minuman keras, HIV AIDS, perdagangan manusia ( Trafficking in Human ), pernikahan dini, KDRT, penggunaan alat komunikasi dan media social secara baik dan benar dll.
Demikian rekomendasi ini dibuat untuk dapat ditindak lanjuti dan diperhatikan proses pelaksanaannya.
Sentani, 06 November 2011    
                                                                                                           
                                                                                                                           Tim Perumus


------------------**********---------------------

KESEPAKATAN DAN REKOMENDASI
SARASEHAN ALUMNI PELATIHAN
COUNTER WOMEN TRAFFICKING COMISSION
RUMAH PEMBINAAN ST. JULLIE BILIART LAWANG - MALANG
26 - 29  MARET  2012

PENDAHULUAN                                             
Perdagangan (trafficking) manusia adalah perekrutan, transportasi, pemindahan, penampungan dan penerimaan orang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk pemaksaan yang lain, penculikan dan penipuan, pelecehan kekuasaan dan pelecehan terhadap orang yang lemah atau pemberian dan penerimaan, pembayaran atau keuntungan untuk mendapat persetujuan, untuk mengawasi orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk di dalamnya eksploitasi pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan dan praktek-praktek semacam perbudakan atau penjualan organ tubuh (Art 3 dari Protokol Palermo PBB, 2000).
Pribadi manusia tidak dapat dan tidak boleh diperalat oleh struktur sosial, ekonomi atau politik, karena setiap pribadi memiliki kebebasan untuk mengarahkan dirinya sendiri menuju tujuannya yang terakhir (Bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 41). Semua manusia adalah sama dan sederajad karena sesungguhnya “Allah tidak membedakan orang” (bdk Kis 10:34;. Rm2:11; Gal 2:6;Ef 6:9), karena semua orang memiliki martabat yang sama sebagai makhluk ciptaan yang dibentuk seturut gambar dan rupa Allah. Penjelmaan Putra Allah memperlihatkan kesetaraan semua orang berkenaan dengan martabatnya: “Tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:28; bdk. Rm 10:12; 1Kor 12:13, Kol 3:11).
Gereja yang solider, mengambil bagian dalam kegembiraan dan harapan umat manusia,dalam kecemasan dan dukacitanya, berdiri bersama setiap lelaki dan perempuan  dari setiap tempat dan masa, guna membawa bagi mereka kabar baik tentang Kerajaan Allah, yang di dalam Yesus Kristus telah datang dan senantiasa hadir di antara mereka (Gaudium et Spes, n.1). Gereja sebagai komunio, persekutuan orang-orang yang dipersatukan oleh Kristus yang bangkit dan yang telah diperintahkan untuk mengikuti Dia, adalah “tanda dan perlindungan transendensi pribadi manusia”.Perutusan gereja dewasa ini adalah mewartakan dan memaklumkan keselamatan yang dibawa oleh Yesus Kristus, yang Ia sebut “Kerajaan Allah” (Mrk 1:15), yakni persekutuan dengan Allah dan di antara manusia. Sasaran keselamatan, yakni Kerajaan Allah,merangkul semua orang dan diwujudkan sepenuhnya di balik sejarah, yaitu di dalam Allah. Gereja telah menerima “tugas perutusan untuk mewartakan Kerajaan Allah, dan mendirikannya di tengah semua bangsa. Gereja merupakan benih dan awal mula Kerajaan itu di dunia” (Bdk. Gaudium et Spes, art.76, Lumen Gentium, art.1, art.5).
Migrasi  dewasa ini menjadi salah satu fenomena kontemporer yang menyentuh hampir seluruh segi kehidupan manusia. Migrasi tidak terlepas dari problem-problem sosial, ekonomi, politis, budaya dan religius yang ditimbulkannya, dan tantangan-tantangan dramatis yang dimilikinya terhadap bangsa-bangsa dan komunitas internasional (bdk. Paus Benediktus XVI, Caritas in Veritate, no. 62). Kita semua menyaksikan aliran besar para migrant ke luar negeri sembari membawa beban penderitaan yang hebat. Bukan hal baru bahwa praktek ketidakdilan menimpa banyak warga manusia pada saat ini dan   secara nyata dapat ditunjuk pada “pembudayaan” tindak kekerasan yang berujung pada terjadinya praktek-praktek perdagangan manusia (human trafficking). Kita sendiri menyaksikan aliran besar para migran ke negara-negara lain .
Kami para pemimpin tarekat dan para peserta dalam semangat solidaritas, subsidiaritas dan semangat berjejaring telah mengadakan  sarasehan dan pelatihan dengan tema  Agar Hak dan Martabat Manusia sebagai Citra Allah Diakui dan Dihormati  pada tanggal 26-29 Maret 2012 bertempat di Rumah Pembinaan Santa Julie Billiart  Lawang-Malang Jawa Timur berkeyakinan bahwa mengupayakan pembelaan terhadap pemulihan martabat kemanusiaan perlu dilakukan secara serius bersama-sama dan menjadi arah kebijakan pastoral yang serius dan mendesak bagi seluruh gereja Indonesia.
Dengan mendapat masukan-masukan dari nara sumber  tentang : Latar belakang biblis keberpihakan kita pada korban sebagai dasar pelayaan dan didukung oleh spiritualitas, Pemahaman hukum perlindungan perempuan dan anak dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, serta mendengar dan mendalami berbagai sharing pengalaman peserta seluruh jaringan se-Indonesia,sharing pengalaman  dari mantan TKW dan pemerhati TKI,  diskusi-diskusi, serta diteguhkan dengan doa, permenungan dan Perayaan Ekaristi, maka dengan ini kami para peserta sarasehan memberikan beberapa rekomendasi  penting untuk ditindaklanjuti bersama:  

BAGI  PARA PESERTA  SARASEHAN
  1. Membangun jejaring antar tarekat, regio dan keuskupan se Indonesia yang telah proaktif dan aktif dalam pelayanan kepada TKI/TKW dan korban perdagangan manusia yang dikoordinir oleh  IBSI dan bekerja sama dengan KKP-PMP KWI dan SGPP-KWI.
  2. Memberdayakan para pekerja pastoral kemanusiaan di setiap tarekat, keuskupan di bawah koordinasi IBSI, KKP-PMP KWI dan SGPP-KWI dengan mengadakan pertemuan rutin, pelatihan dan sarasehan. 
  3. Membentuk tim advokasi tarekat dan keuskupan dalam penanganan persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya masalah perdagangan manusia dan masalah yang dialami oleh TKI/TKW.
Kepada Para Uskup Se Indonesia
  1. Pengarusutamaan pastoral migrant dan perantau di keuskupan masing-masing dan membangun solidaritas dengan korban yang ditimbulkan akibat migrasi nasional  dan internasional.  (bdk.Cristus Dominus no 18; Instruksi Erga migrantes caritas Christi, 2005, Pastoralis migratorum cura  dan Nemo est, KHK 518).
  2. Membentuk tim yang solid di masing-masing keuskupan dengan mengikutsertakan para imam, biarawan/wati dan awam.
  3. Membentuk tim advokasi keuskupan untuk menangani masalah TKI.
  4. Berkolaborasi dan membangun jejaring dengan semua pihak yang berkehendak baik untuk menangani persoalan migrasi, khususnya mereka yang menjadi korban perdagangan manusia.    
  5. Memperhatikan pendampingan pastoral terhadap calon TKI gereja lokal dimana migrant itu berasal dan berangkat, di daerah transit  dan di daerah tujuan para migrant dan perantau.
  6. Mensosialisasikan migrasi yang aman.
  7. Mendirikan Balai Latihan Kerja di setiap keuskupan.
Kepada Pemimpin Tarekat-Tarekat Religius
  1. Membangun komitmen bersama untuk memberikan pemahamanan dan pembelaan agar hak dan martabat manusia sebagai citra Allah diakui dan dihormati.
  2. Membantu upaya-upaya pencegahan terjadinya praktek-praktek perdagangan manusia melalui karya-karya kerasulan khas tarekat.
  3. Komunitas-komunitas religius membuka diri  untuk memberikan perlindungan dan keamanan bagi para korban.
  4. Menunjuk perwakilan tarekat dan membangun regenerasi serta formasi untuk berperan aktif dalam pastoral bagi para migrant-perantau.
.
PENUTUP

Demikian rekomendasi yang kami buat dalam sebuah keprihatinan yang mendalam terhadap para korban pelanggaran martabat manusia.  Kiranya Roh Tuhan memberikan kekuatan kepada kita untuk berjuang bersama para korban.

Lawang- Malang- Indonesia , 29 Maret 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar