DEKLARASI ANTI
PERDAGANGAN MANUSIA
Pada hari jumat sampai
minggu, tanggal enam sampai tanggal delapan bulan delapan tahun 2010, bertempat
di Wisma Don Bosco – Lewoleba, kami para biarawan-biarawati dari kongregasi
religius yang berkarya di Keuskupan Larantuka bersama utusan awam dan
perwakilan Pemerintah dari instansi terkait, bertemu dan membuat refleksi
bersama perihal isu “Perdagangan Manusia”. Refleksi bersama ini diilhami dan
didukung penuh oleh IKATAN BIARAWATI SELURUH INDONESIA (IBSI). IBSI sendiri
beranggotakan para Pemimpin Umum/Provinsial dari setiap kongregasi
religius/biarawati di Indonesia bahkan berjejaring ke seluruh dunia. IBSI
memiliki program dan perhatian besar terhadap persoalan kemanusiaan. Bahkan
IBSI sudah membentuk pula komisi khusus untuk penanggulangan perdagangan
perempuan (Counter Women Trafficking Commission) sebagai wujud kepedulian
terhadap persoalan kemanusiaan yakni perdagangan manusia pada umumnya dan
perdagangan perempuan khususnya.
Setelah mendapat
masukan dari para narasumber dan berdialog penuh emphati serta berdiskusi
secara mendalam dan bersaudara, kami menyatakan dan menegaskan sikap kami untuk
“ANTI TERHADAP PERDAGANGAN MANUSIA” dalam bentuk apa pun. Pernyataan sikap kami
ini didasarkan pada sejumlah referensi yuridis formal berupa regulasi
pemerintah, refleksi iman dan moral atas peran profetis Gereja dalam merespon
realitas sosial kemasyarakatan termasuk isu perdagangan manusia. Kami menemukan
bahwa sesungguhnya respon terhadap persoalan perdagangan manusia adalah
sekaligus panggilan kristiani dan kemuridan setiap pengikut Yesus sang Guru dan
Pemimpin, Tuhan dan Gembala yang selalu berpihak kepada yang lemah dan
tertindas. Pilihan keberpihakan kepada yang miskin dan tertindas itu merupakan
spiritualitas Gereja yang kami wujudkan dalam rencana aksi sebagai upaya
konkret untuk pemberdayaan dan kesadaran akan kerja ber-jejaring dengan
berbagai pihak. Sejumlah butir gagasan dan point simpul wacana berikut ini
adalah bagian dari risalah dan intisari refleksi kami yang bermuara pada
kesepakatan dan rekomendasi.
1. Manusia diciptakan
oleh Allah menurut gambaranNya (imago Dei), karena itu betapa mulianya makhluk
manusia itu. Manusia memiliki martabat sebagai pribadi dan itu begitu luhur,
mulia dan indah, jauh lebih berharga daripada makhluk ciptaan yang lain. Hanya
kita manusia saja makhluk yang mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas
diri sendiri dan mengabdikan diri dalam kebebasan. Hanya manusia dapat hidup
dalam kebersamaan dengan orang lain dan makhluk lain secara bersaudara
(companion) yang memungkinkan dia bertumbuh dan berkembang. Maka, sesungguhnya
penghormatan terhadap martabat manusia adalah hakekat penciptaan dan panggilan
kristiani kita sekaligus merupakan ciri dari masyarakat yang sejahtera.
2. Kondisi ideal yang
inherent dan melekat satu dalam pribadi manusia dengan hak dan kewajibannya
yang harus dihormati itu malah tercoreng, ternoda dan dilecehkan oleh egoisme
manusia dan pertimbangan kepentingan diri/kelompok. Oleh dosa, manusia menjadi
terpecah belah dalam dirinya sendiri dan dalam kebersamaannya dengan sesama.
Manusia tidak saling menghargai martabat pribadi yang indah dan mulia itu,
bahkan sebaliknya terjadi dan terlibat melalui aneka kejahatan. Adapun bentuk
kejahatan itu berupa eksploitasi seksual dan prostitusi, eksploitasi tenaga
kerja khusus perempuan dan anak bahkan eksploitasi organ tubuh dan
penyelundupan manusia. Semua kejahatan ini adalah bentuk perdagangan manusia
(human trafficking atau trafficking in person) yang sesungguhnya merendahkan
martabat manusia dan mengabaikan nilai-nilai luhur dalam diri manusia pada satu
pihak dan pada pihak lain mencoreng wajah Allah sang Pencipta. Secara khusus
perihal buruh migrant ada begitu banyak masyarakat kita yang merantau secara
ilegal. Terbetik masalah demi masalah dengan aneka modus operandi mulai pada
tahap rekruitmen, penampungan, pengiriman, pengangkutan sampai pada penempatan.
Bahkan ketika kembali ke tempat asal pun para perantau kita masih mendapat
pemerasan di perjalanan sampai di pelabuhan tujuan yang disaksikan oleh kaum
keluarga dan pihak penegak hukum. Selain itu ada banyak soal lain yang
menelantarkan kehidupan iman dan moral yang menciptakan disharmoni dalam
keluarga. Ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan pun menjadi
persoalan tersendiri apalagi di tengah adat-budaya masyarakat kita yang
patriarkat yang menomorduakan perempuan, selain beban ganda, label negative dan
anggapan perempuan sebagai makhluk yang lemah serta berbagai bentuk kekerasan
yang memprihatinkan dan menyesakkan dada. Selain itu masalah HIV/AIDS sudah
tiba pula di pekarangan kisah hidup kita dan menjadi ancaman yang menakutkan.
3. Terhadap aneka
persoalan yang kami pandang semakin hari semakin memprihatinkan dan harus
merupakan agenda yang ‘penting dan mendesak’ itu, ternyata belum ada tanggapan
dan penanganan yang konkret dan berarti baik oleh masyarakat warga sendiri
maupun oleh badan publik apalagi oleh para pemilik modal dan pasar. Sejumlah
sebab yang kami refleksikan antara lain: Komunitas masyarakat pada umumnya
masih menganggap perdagangan manusia sebagai bukan kejahatan serius, ada yang
bahkan terlibat sebagai calo, makelar, sindikat dan mafia tenaga kerja yang
melibatkan pula oknum pejabat dengan segala kepentingannya. Hambatan juga
datang dari masyarakat kecil sendiri yang adalah korban malah takut dan atau
malu melaporkan perlakuan jahat yang dialami. Pemerintah sebagai penanggungjawab
publik belum memberi perhatian serius untuk merespon realitas bermasalah
terkait buruh migrant itu. Tak ada alokasi dana daerah yang memadai yang secara
khusus berpihak pada buruh migran, belum ada pula Perda yang mengakomodir
kepentingan buruh migran. Pihak penegak hukum pun nampaknya tidak serius
menangani aneka kejahatan perdagangan manusia, vonis yang diberikan terhadap
pelaku kejahatan terlalu ringan sehingga tidak membuat jera sang pelaku.
Sementara bukan rahasia bahwasanya pelaku kejahatan sendiri sering berjejaring
secara teorganisir dan kita menjadi saksi yang tidak berdaya. Komunitas
internal Gereja sendiri pun belum mewadahi secara memadai persoalan kemanusiaan
yang memprihatinkan ini.
4. Terhadap semua
persoalan itu, kami merefleksikan semangat dasar untuk bermain peran dan
terlibat sebagai Gereja. Melalui Inkarnasi dan peristiwa Salib, Allah telah
menunjukkan keberpihakan yang hebat dan solidaritas yang luar biasa terhadap
manusia yang berdosa. Dalam diri Yesus dari Nazareth, Allah hadir dan bermurah
hati, menjadi dan mengambil bagian dalam perjuangan manusia. Karena itu,
keterlibatan dan keberpihakan Gereja itu bukan pertama-tama karena realitas
eksternal yang bermasalah. Keterlibatan Gereja juga bukan sekadar mimpi, ilusi,
halusinasi atau imajinasi belaka melainkan merupakan panggilan dan
spiritualitas internal Gereja. Ajaran Sosial Gereja menegaskan bahwa
sesungguhnya relasi antara ajaran Gereja dan tanggapan terhadap masalah sosial
bersifat timbal balik. Prinsip-Prinsip Ajaran Sosial Gereja melandasi
perjuangan kemanusiaan, antara lain menghargai martabat manusia, bersikap
solider, menghargai subsidiaritas, mengutamakan kepentingan umum dan tetap
memilih berpihak kepada yang miskin. Karena itu, tidak cukup sebagai Gereja,
kita merayakan keselamatan dalam ritus liturgi saja sambil mengabaikan
tanggungjawab sosial kemasyarakatan. Bukankah Tuhan melalui nabi Amos telah
mencela kita: “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang
pada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepadaKu
korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban
keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah
daripadaKu keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar.
Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti
sungai yang selalu mengalir” (Amos 5:21-24).
5. Sesungguhnya,
melalui pengalaman dan peristiwa biblis dari masa ke masa, Allah tiada henti
mengajar dan mengajak kita untuk terus keluar (exodus) sebagai Gereja Peziarah
dan hidup sebagai orang asing di tanah Tuhan. Kesadaran sebagai orang asing di
tanah Tuhan ini membutuhkan perubahan paradigma yang mengandaikan gerakan untuk
eksodus. Kita keluar dari anggapan terhadap manusia sebagai barang untuk
dimanfaatkan dan diperdagangkan ke tempat sakral yang dihormati. Manusia
sebagai obyek yang dieksploitasi kepada situs/tempat kediaman Allah. Manusia
yang mengejar egoisme pribadi dengan segala kesenangannya kepada tujuan
cintakasih persaudaraan yang diajarkan oleh Kristus sendiri. Maka, manakala
kesadaran kritis kolektif dan kemurahan hati tumbuh semakin mekar dalam
komunitas-komunitas hidup dan karya para murid Tuhan mulai dari dalam keluarga
dan komunitas basis gerejani (KBG) kita, maka perubahan kepada kebaikan akan
terjadi. Manakala sekelompok orang mengorganisir diri secara kuat untuk
mewadahi kepentingan bersama dan berjuang dengan spiritualitas keberpihakan
yang benar dan mengelola peluang politis untuk kebaikan bersama maka perubahan
pun akan terjadi. Memang, perubahan kepada kebaikan itu tidak hanya membutuhkan
komitmen manusiawi melainkan juga karya rahmat Allah.
6. Oleh karena itu,
terkait isu perdagangan manusia dengan segala bentuk kejahatan dan modus
operandinya, kami para rohaniwan dan biarawan/biarawati bersama utusan awam
membangun kesepakatan yang menjadi komitmen kami dan mengharapkan dukungan
segenap umat beriman sebagai persekutuan Umat Allah dan bagian tak terpisahkan
dari Tubuh Mistik Kristus. Kami juga merumuskan dan menyampaikan sejumlah
rekomendasi kepada para pihak yang berkompeten karena jabatannya untuk
kepentingan publik (bonum publicum) dan semua orang yang bertanggungjawab untuk
kebaikan umum (bonum commune). Dan melalui penghayatan spiritualitas masing-masing
kongregasi, kami memohon berkat Tuhan dan bimbingan Roh Kudus untuk menyentuh
hati dan menyapa nurani setiap orang yang berkehendak baik tanpa diskriminasi
ras, suku, agama, golongan dan kepentingan.
7. Butir-butir
KESEPAKATAN
- Memberi pemahaman dan motivasi melalui pendampingan keluarga untuk bermigrasi secara legal, aman dan terlindungi.
- Bermitra dengan para pihak (termasuk dengan seksi PSE) untuk memberdayakan ekonomi keluarga, usaha kecil dan pendampingan bagi kelompok ekonomi produktif.
- Menyelenggarakan pendidikan non formal untuk menciptakan lapangan kerja.
- Melakukan kampanye anti perdagangan manusia dan katekese di sekolah dan asrama.
- Membentuk “wadah komunikasi” relawan anti perdagangan manusia.
- Bekerjasama dan berjejaring dengan Komisi Migran dan Perantau Keuskupan Larantuka, Pemerintah, Aparat Penegak Hukum, LSM dan pihak lain untuk menjadi bagian dari persoalan perdagangan manusia.
8. Butir-butir
REKOMENDASI
1) Kepada Gereja:
- Meminta bapak uskup Larantuka untuk menerbitkan Surat Gembala atau Nota Pastoral khusus tentang persoalan perdagangan manusia.
- Menganjurkan kepada pihak Keuskupan untuk membedah isu perdagangan manusia sebagai salah satu tema APP.
- Meminta Komisi Migran dan Perantau Keuskupan untuk membuat data base tentang migrasi di Keuskupan Larantuka.
- Meminta para agen pastoral paroki (pastor sampai ketua KBG) untuk membangun pemahaman yang benar tentang bermigrasi yang legal dan ancaman perdagangan manusia.
- Mengadakan katekese anti perdagangan manusia di sekolah-sekolah dan asrama-asrama.
2) Bagi Pemerintah:
- Menggunakan pelayanan nurani dalam memfasilitasi calon dan mantan buruh migran dan keluarganya serta memberikan pelayanan terpadu satu atap.
- Memberikan sosialisasi sampai ke tingkat masyarakat akar rumput tentang bermigrasi secara legal sebagaimana mandat UU No. 39 tahun 2004.
- Menerbitkan PERDA khusus terkait persoalan buruh migran.
- Memperjuangkan berdirinya Kantor Imigrasi di tingkat Kabupaten.
- Mengalokasikan dana APBD untuk mengelola permasalahan buruh migran dan perdagangan manusia.
- Meminta aparat penegak hukum untuk sungguh-sungguh menegakkan aturan dan menindak tegas para pelaku kejahatan perdagangan manusia.
3) Bagi Komunitas
Warga/Masyarakat:
- Merencanakan migrasi secara aman, legal dan terjamin perlindungan terhadap hak dan kewajiban dengan program hidup yang jelas.
- Berhati-hati terhadap iming-iming merantau yang menggiurkan dari pihak yang tidak jelas identitas diri dan lembaganya.
- Tidak memanfaatkan perantauan sebagai pelarian terhadap persoalan dan tanggungjawab keluarga dan tuntutan adat.
- Meninjau sistem dan pemberlakuan keputusan adat yang memberatkan dan membebankan.
- Berlaku adil terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam peran publik dan domestik baik dalam keluarga maupun dalam komunitas masyarakat yang lebih luas.
- Mewaspadai ancaman dan bahaya HIV/AIDS yang kebanyakan dibawa oleh mantan buruh migran.
- Berani melaporkan persoalan kejahatan perdagangan manusia kepada para pihak seperti Toga, Tomas, Toda, dan Penegak hukum.
Pada akhirnya, kami
mengucap syukur kepada Allah yang berkenan menyediakan kesempatan bagi kami
untuk menjadi lebih sadar dan semakin empati dalam merespon realitas sosial
kemasyarakatan secara manusiawi. Kami juga mau berusaha membebaskan kenyamanan
kami di balik tembok-tembok biara dan kungkungan egoisme kami untuk menjadi
bagian dari masalah kemanusiaan sebagai panggilan kemuridan kami. Semoga Tuhan
yang berbelarasa dengan kita umatNya dan berlimpah kemurahan hatiNya menguatkan
kami. Semoga Ia melimpahkan rahmatNya kepada saudara-saudari umat beriman agar
kita semua bangkit berjuang dalam suasana persaudaraan yang sejati dengan cinta
yang sejati untuk kasih-persaudaraan yang sejati.
Lewoleba, 8 Agustus
2010
KESEPAKATAN BERSAMA
HASIL LOKAKARYA “ KESETARAAN DAN
KEADILAN GENDER SERTA REALITAS KEKERASAN TERHADAP KAUM PEREMPUAN”
BAGI PETUGAS PASTORAL PEMBERDAYAAN
PEREMPUAN DI KEUSKUPAN JAYAPURA
SENTANI, 4-6 NOVEMBER 2011
Mencermati banyaknya persoalan ketidakadilan
gender yang dihadapi kaum perempuan di Papua, baik dibidang ekonomi, politik,
pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, pertahanan keamanan bahkan agama; maka
berdasarkan hasil diskusi selama pertemuan, juga mempertimbangkan arahan dan
masukan dari para narasumber, dengan ini
kami merekomendasikan hal – hal sebagai berikut :
1. Realita
ketidakadilan gender yang dialami perempuan di Papua :
- Ekonomi :
Tanggung
jawab lebih besar yang dibebankan kepada kaum perempuan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, kesenjangan ekonomi, kurangnya perhatian terhadap
pemberdayaan ekonomi orang asli
- Pendidikan
Masih
sulitnya akses terhadap pendidikan di pedalaman, banyak asrama asrama mahasiswa
dibangun di kota dengan biaya besar tetapi tidak dilengkapi dengan pola
pembinaan yang baik
- Kesehatan :
Perubahan
yang terjadi secara cepat membawa pengaruh buruk untuk masyarakat, pergaulan
bebas yang menyebabkan semakin tingginya jumlah pengidap HIV AIDS termasuk ibu
dan anak, tingginya tingkat kematian ibu dan anak, dan masih rendahnya
kesadaran akan pentingnya pola hidup sehat
- Sosial budaya :
Kurangnya
penghargaan terhadap harkat dan martabat kaum perempuan yang terlihat dari
tingginya tingkat kekerasan dalam rumah tangga, maraknya perselingkuhan,
perkawinan usia dini, perkawinan campur ( beda agama, suku, dll ) tanpa ikatan
yang sah;
- Agama :
Para
pengurus gereja cenderung didominasi kaum pria, kurangnya kehadiran kaum pria
dalam kegiatan – kegiatan keagamaan, yang seringkali hanya dihadiri perempuan
dan anak-anak
2. Harapan-harapan
:
- Tanggung jawab bersama suami istri untuk menjalankan tugas dalam keluarga lebih khusus untuk pendidikan anak, pemberdayaan di bidang ekonomi terutama perempuan
- Akses pendidikan yang mudah ,adanya pendampingan yang intensif untuk para penghuni asrama –asrama yang ada di kota Jayapura
- Kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, bahaya pergaulan bebas, minuman keras, HIV AIDS, perkawinan usia dini, perkawinan tanpa ikatan yang sah
- Tidak ada tindak kekerasan dalam rumah tangga, kehidupan kekeluargaan yang harmonis untuk mencegah perselingkuhan dan tindak kekerasan dalam rumah tangga
- Perempuan mendapat kesempatan yang sama untuk duduk dalam kepengurusan gereja, keikutsertaan dan keaktifan secara bersama dalam menjalankan kegiatan kegiatan menggereja
3. Solusi
atas persoalan persoalan ini :
- Sosialisasi hasil pertemuan ke masing – masing wilayah
- Pembentukan tim relawan pemerhati persoalan perempuan dan anak di masing – masing wilayah Dakenat, Paroki, Kombas, WKRI, komunitas-komunitas religius, dan kelompok kategorial Gereja
- Pemberdayaan ekonomi melalui berbagai macam kegiatan pelatihan keterampilan dan membentuk satu bagian pemasaran melalui komisi pemberdayaan perempuan Keuskupan Jayapura
- Membangun jaringan kerja untuk mempermudah kerjasama antar kelompok dalam usaha memberdayakan kaum perempuan : Gereja, Adat, Pemerintah, LSM, IBSI, dan lembaga lembaga lain yang memiliki perhatian yang sama terhadap persoalan kaum perempuan
- Meningkatkan kegiatan penyuluhan di kelompok mengenai hidup sehat, bahaya pergaulan bebas, minuman keras, HIV AIDS, perdagangan manusia ( Trafficking in Human ), pernikahan dini, KDRT, penggunaan alat komunikasi dan media social secara baik dan benar dll.
Demikian rekomendasi ini dibuat untuk dapat
ditindak lanjuti dan diperhatikan proses pelaksanaannya.
Sentani, 06 November 2011
------------------**********---------------------
KESEPAKATAN
DAN REKOMENDASI
SARASEHAN ALUMNI PELATIHAN
COUNTER WOMEN TRAFFICKING COMISSION
RUMAH PEMBINAAN ST. JULLIE BILIART LAWANG - MALANG
26 - 29 MARET 2012
PENDAHULUAN
Perdagangan (trafficking) manusia adalah perekrutan, transportasi, pemindahan,
penampungan dan penerimaan orang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau
bentuk pemaksaan yang lain, penculikan dan penipuan, pelecehan kekuasaan dan
pelecehan terhadap orang yang lemah atau pemberian dan penerimaan, pembayaran
atau keuntungan untuk mendapat persetujuan, untuk mengawasi orang lain, untuk
tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk di dalamnya eksploitasi pelacuran atau
bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa atau pelayanan paksa,
perbudakan dan praktek-praktek semacam perbudakan atau penjualan organ tubuh (Art 3 dari Protokol Palermo PBB, 2000).
Pribadi manusia tidak dapat dan
tidak boleh diperalat oleh struktur sosial, ekonomi atau politik, karena setiap
pribadi memiliki kebebasan untuk mengarahkan dirinya sendiri menuju tujuannya
yang terakhir (Bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus,
41). Semua manusia adalah sama dan
sederajad karena sesungguhnya “Allah tidak membedakan orang” (bdk Kis 10:34;.
Rm2:11; Gal 2:6;Ef 6:9), karena semua orang memiliki martabat yang sama sebagai
makhluk ciptaan yang dibentuk seturut gambar dan rupa Allah. Penjelmaan
Putra Allah memperlihatkan kesetaraan semua orang berkenaan dengan martabatnya:
“Tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka,
tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam
Kristus Yesus” (Gal 3:28; bdk. Rm 10:12; 1Kor 12:13, Kol 3:11).
Gereja yang solider, mengambil
bagian dalam kegembiraan dan harapan umat manusia,dalam kecemasan dan
dukacitanya, berdiri bersama setiap lelaki dan perempuan dari setiap tempat dan masa, guna membawa bagi mereka kabar baik tentang
Kerajaan Allah, yang di dalam Yesus Kristus telah datang dan senantiasa hadir
di antara mereka (Gaudium et Spes, n.1). Gereja sebagai komunio, persekutuan orang-orang yang dipersatukan oleh
Kristus yang bangkit dan yang telah diperintahkan untuk mengikuti Dia, adalah “tanda
dan perlindungan transendensi pribadi manusia”.Perutusan gereja
dewasa ini adalah mewartakan dan memaklumkan keselamatan yang dibawa oleh Yesus
Kristus, yang Ia sebut “Kerajaan Allah” (Mrk 1:15), yakni persekutuan dengan
Allah dan di antara manusia. Sasaran keselamatan, yakni Kerajaan
Allah,merangkul semua orang dan diwujudkan sepenuhnya di balik sejarah, yaitu
di dalam Allah. Gereja telah menerima “tugas perutusan untuk mewartakan
Kerajaan Allah, dan mendirikannya di tengah semua bangsa. Gereja merupakan
benih dan awal mula Kerajaan itu di dunia” (Bdk. Gaudium et Spes, art.76, Lumen Gentium, art.1, art.5).
Migrasi dewasa ini menjadi salah satu fenomena kontemporer
yang menyentuh hampir seluruh segi kehidupan manusia. Migrasi tidak terlepas
dari problem-problem sosial, ekonomi, politis, budaya dan religius yang
ditimbulkannya, dan tantangan-tantangan dramatis yang dimilikinya terhadap
bangsa-bangsa dan komunitas internasional (bdk. Paus Benediktus XVI,
Caritas in Veritate, no. 62). Kita semua
menyaksikan aliran besar para migrant ke luar negeri sembari membawa beban
penderitaan yang hebat. Bukan hal baru bahwa praktek ketidakdilan menimpa banyak warga manusia pada saat ini dan secara
nyata dapat ditunjuk pada “pembudayaan” tindak kekerasan yang berujung
pada terjadinya praktek-praktek perdagangan manusia (human trafficking).
Kita sendiri menyaksikan aliran besar para migran ke
negara-negara lain .
Kami para pemimpin tarekat dan para peserta dalam
semangat solidaritas, subsidiaritas dan semangat berjejaring telah
mengadakan sarasehan dan pelatihan dengan
tema “Agar Hak dan Martabat Manusia sebagai
Citra Allah Diakui dan Dihormati”
pada tanggal 26-29 Maret 2012 bertempat di Rumah Pembinaan Santa Julie Billiart
Lawang-Malang Jawa Timur
berkeyakinan bahwa mengupayakan pembelaan terhadap pemulihan martabat
kemanusiaan perlu dilakukan secara serius bersama-sama dan menjadi arah
kebijakan pastoral yang serius dan mendesak bagi seluruh gereja Indonesia.
Dengan mendapat masukan-masukan dari nara sumber tentang : Latar belakang biblis keberpihakan
kita pada korban sebagai dasar pelayaan dan didukung oleh spiritualitas, Pemahaman
hukum perlindungan perempuan dan anak dan pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang, serta mendengar dan mendalami berbagai sharing pengalaman
peserta seluruh jaringan se-Indonesia,sharing pengalaman dari mantan TKW dan pemerhati TKI, diskusi-diskusi, serta diteguhkan dengan doa,
permenungan dan Perayaan Ekaristi, maka dengan ini kami para peserta sarasehan memberikan
beberapa rekomendasi penting untuk
ditindaklanjuti bersama:
BAGI PARA PESERTA SARASEHAN
- Membangun jejaring antar tarekat, regio dan keuskupan se Indonesia yang telah proaktif dan aktif dalam pelayanan kepada TKI/TKW dan korban perdagangan manusia yang dikoordinir oleh IBSI dan bekerja sama dengan KKP-PMP KWI dan SGPP-KWI.
- Memberdayakan para pekerja pastoral kemanusiaan di setiap tarekat, keuskupan di bawah koordinasi IBSI, KKP-PMP KWI dan SGPP-KWI dengan mengadakan pertemuan rutin, pelatihan dan sarasehan.
- Membentuk tim advokasi tarekat dan keuskupan dalam penanganan persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya masalah perdagangan manusia dan masalah yang dialami oleh TKI/TKW.
- Pengarusutamaan pastoral migrant dan perantau di keuskupan masing-masing dan membangun solidaritas dengan korban yang ditimbulkan akibat migrasi nasional dan internasional. (bdk.Cristus Dominus no 18; Instruksi Erga migrantes caritas Christi, 2005, Pastoralis migratorum cura dan Nemo est, KHK 518).
- Membentuk tim yang solid di masing-masing keuskupan dengan mengikutsertakan para imam, biarawan/wati dan awam.
- Membentuk tim advokasi keuskupan untuk menangani masalah TKI.
- Berkolaborasi dan membangun jejaring dengan semua pihak yang berkehendak baik untuk menangani persoalan migrasi, khususnya mereka yang menjadi korban perdagangan manusia.
- Memperhatikan pendampingan pastoral terhadap calon TKI gereja lokal dimana migrant itu berasal dan berangkat, di daerah transit dan di daerah tujuan para migrant dan perantau.
- Mensosialisasikan migrasi yang aman.
- Mendirikan Balai Latihan Kerja di setiap keuskupan.
Kepada Pemimpin Tarekat-Tarekat Religius
- Membangun komitmen bersama untuk memberikan pemahamanan dan pembelaan agar hak dan martabat manusia sebagai citra Allah diakui dan dihormati.
- Membantu upaya-upaya pencegahan terjadinya praktek-praktek perdagangan manusia melalui karya-karya kerasulan khas tarekat.
- Komunitas-komunitas religius membuka diri untuk memberikan perlindungan dan keamanan bagi para korban.
- Menunjuk perwakilan tarekat dan membangun regenerasi serta formasi untuk berperan aktif dalam pastoral bagi para migrant-perantau.
.
PENUTUP
Demikian rekomendasi yang kami buat dalam
sebuah keprihatinan yang mendalam terhadap para korban pelanggaran martabat
manusia. Kiranya Roh Tuhan memberikan
kekuatan kepada kita untuk berjuang bersama para korban.
Lawang- Malang- Indonesia , 29
Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar